
Oleh: Drs Tumpal Siagian *)
OPINI
Awal Januari 2022 kita dikagetkan bencana banjir yang melanda kawasan Indonesia dari Barat sampai ke Timur, karena hujan deras sehingga terjadi luapan air sungai. Akibatnya, banyak bangunan rusak, warga mengungsi, dan korban jiwa pun tak terelakkan.
Penyebab banjir di berbagai daerah relatif sama bak orkestra, terganggunya ekosistem lingkungan hidup, tidak setia menjaga alam serta penataan sungai belum dibenahi. Secara empiris tanda dasar itu terlihat pada banjir di kota-kota di Indonesia di awal tahun 2022 ini.
Hujan deras sejak Sabtu, 1 Januari 2022 menyebabkan banjir di sebagian besar kota-kota di wilayah pesisir Timur dan disusul pesisir Utara Provinsi Aceh (3/1) membuat desa-desa pedalaman di kawasan itu terisolasi. Banjir disebabkan meluapnya Krueng (Sungai) Keureuto, Krueng Peutoe, dan Krueng Pirak meluap. Sungai-sungai tersebut meluap karena debit air naik setelah diguyur hujan dengan intensitas tinggi nyaris membuat warga kehilangan harapan. Beberapa titik tanggul jebol tidak sanggup menahan derasnya arus. Akibatnya, pemukiman penduduk sepanjang daerah aliran sungai (DAS) terendam. Selain rumah perkebunan, dan sawah yang baru ditanam juga terendam banjir.
Banjir menggenangi kawasan Aceh Timur dan Utara itu, tidak bisa dipandang sebagai bencana biasa. Sebab dampak dan kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Terlepas dari tingginya curah hujan atau fenomena alam seperti La Nina, kesalahan penggunaan di hulu semakin memperburuk di hilir. Janganlah hujan deras dijadikan kambing hitam dan tidak menangani penyebabnya secara menyeluruh.
Harus diakui, penggunaan lahan dan hutan tak sesuai fungsi. Sehingga banyak tutupan hutan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal, kawasan hutan yang beralih fungsi tersebut berada di area hulu DAS, membuat tanah tak mampu menyerap air. Akibatnya, terjangan air langsung meluncur ke sungai. Sementara banyak sungai dalam keadaan dangkal, sehingga debit air yang naik meluap ke permukiman warga.
Banjir yang terjadi di kota Jayapura, Papua (7/1) juga karena hujan deras membuat ratusan warga mengungsi. Jebolnya lima daerah aliran sungai (DAS) meliputi Sungai Kampwolker, Siborgonyi, Acai, Entrop, dan Anafre dalam kondisi kritis, terjadi pendangkalan sedimen lumpur. Pendangkalan sedimen lumpur diperparah banyaknya sampah plastik dan barang elektronik dibuang ke sungai. Sementara rumah warga, peternakan, dan tempat usaha juga banyak dibangun di bantaran sungai, dengan jarak 1-2 meter dari pinggir sungai. Idealnya di sebuah DAS terdapat bantaran banjir, yang berarti lebar titik batas muka air normal sungai dengan titik batas pada saat banjir, tidak boleh ada bangunan di atasnya.
Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kota Surabaya, Jawa Timur (11/1), banjir dipicu hujan deras. Diterpa angin kencang, sehingga banyak pohon tumbang, diperparah jaringan saluran air dan sungai yang kurang memadai. Tidak hanya disebabkan sungai-sungai yang tersumbat sampah dan mendangkal karena tebalnya endapan, tetapi ditemukannya keberadaan utilitas atau pipa-pipa yang menghambat, bahkan menghentikan aliran. Instansi pemasang utilitas, antara lain PDAM, PLN, penyedia jaringan telekomunikasi, dan pengelola gedung-gedung.
Insiden beruntun bencana banjir di DKI, Jakarta (18/1), Bekasi (20/1), Cirebon (22/1), dan Jember- Jawa Timur (26/1). Selain hujan deras, banjir juga dipicu penyempitan sungai dan drainase yang buruk.
Serupa nasib di bumi Kalimantan umumnya turut merana akibat deforestasi. Tutupan hutan di sungai beralih fungsi menjadi perkebunan sawit skala besar dan penebangan pohon berdampak pada DAS. Bentang alam menjadi lebih sensitif terhadap cuaca ekstrem, seperti curah hujan tinggi dan kekeringan. Kini sungai-sungai disana menuju kritis karena banjir, akibat luapan air sungai ataupun banjir rob, bahkan kekeringan hingga kebakaran lahan di wilayah gambut yang rusak.
Tolak Bala Luapan Sungai
Satu hal yang sangat menarik adalah perilaku masyarakat menyikapi bencana banjir yang mendera dari Barat sampai Timur dengan melakukan ritual tolak bala. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah misalnya, percaya sungai merupakan sumber kehidupan. Ada istilah “danum kaharingan” yang berarti air kehidupan. Tonggak peradaban mereka dimulai dari sungai. Sungai merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Dayak.
Tak hanya tempat mencari nafkah, sungai juga sebagai sarana transportasi. Bahkan, ratusan tahun lalu, ritual adat hingga rumah suku Dayak dibuat tak jauh dari sungai. Ritual adat berupa membasuh muka dengan air sungai, kemudian menyiramkan beras dengan darah ayam yang menjadi hewan kurban ke sungai. Bertujuan memberikan sesajen atau sesembahan kepada roh yang hidup disana, sambil melantunkan doa kepada yang empunya kehidupan. Kini, dengan terjadinya banjir di daerah itu, mereka melakukan sesajen tolak bala sebagai wujud menyayangi sungai.
Dalam tradisi Melayu Tua di masyarakat Jambi, sesajen juga dilakukan untuk tolak bala. Seekor ayam hitam, jeruk, dan tanaman obat menjadi antaran doa pada beragam sesajen yang disusun di atas keranjang. Doa-doa mengalir dalam ikatan tradisi, berisi rangkaian doa dan syair yang dilantunkan dalam iringan rebana “zikir beredah”. Sebagai tanda pembersihan diri, mengusir hal-hal buruk mengobati yang sakit dan menolak bala berbagai bencana alam. Dalam waktu yang sama muncul ritual “Nyadran Sendang Gedhe” di Semarang, Jawa Tengah, yaitu tradisi bersih desa untuk melestarikan Sungai dan mata air.
Banjir yang membuat masyarakat Tanah Air merana, kini muncul melankolia dari Barat sampai ke Timur lewat sesajen mencoba berbicara dengan alam. Namun narasi penghormatan kepada alam di beberapa tempat berupa sesajen menolak bala, seyogianya tidak boleh berhenti di situ saja.
Fenomena banjir memberi pelajaran tentang dua hal, yaitu dari segi bahaya banjir yg nyatanya terus menjadi-jadi dan upaya mengurangi resiko bencana. Karena itu, sangat menarik konprensi pers (6/1/2022), di Istana Kepresiden Bogor, Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan 2.708 izin pertambangan, 192 izin kehutanan, dan 137 izin perkebunan. Pencabutan dilakukan karena izin-izin itu tak dijalankan, tak produktif, dialihkan kepada pihak lain, serta tak sesuai dengan peruntukan dan peraturan layak diapresiasi. Kebijakan ini harus ditindaklanjuti, dievaluasi secara terus-menerus dan berkala agar tercapai tata kelola sumber daya alam dan lingkungan, sekaligus untuk mengatasi ketimpangan lahan di Indonesia.
Jika setiap musim hujan kebanjiran, itu pertanda daya dukung lingkungan yang merosot karena eksploitasi alam berlebih jadi faktor utama bencana, dan curah hujan hanyalah pemantiknya. Di sisi lain, hujan dan kekeringan kian ekstrem juga akibat ulah manusia yang sebagian disumbang pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) dari pembukaan hutan di seantero negeri dari Sumatera, Kalimantan hingga Papua. Hutan adat di Papua yang dibabat sebagian besar digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, jagung, kawasan lumbung pangan (food estate) hingga bisnis hak pengusahaan hutan. Membuat derita warga karena msyarakat menggantungkan hidup dari hutan beserta keanekaragaman hayati didalamnya, kini terancam punah.
Masalah banjir adalah soal tata kelola, sebab, salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air sehingga sebagian air hujan yang turun akan terserap ke dalam tanah. Oleh karena itu, meski curah hujan tinggi, banjir tidak separah itu jika tutupan hujan masih bagus, DAS tidak rusak dan setia di jalan konservasi yaitu pelestarian dan perlindungan alam.
Setia di Jalan Konservasi
Konservasi sungai ibarat merawat ingatan kita akan kejayaan peradaban leluhur yang setia dalam menata sungainya, seperti terlihat pada kota-kota ternama di Nusantara. Sebut saja, kota Palembang dan Jambi pada Kerajaan Sriwijaya yang berada di sekitar Sungai Musi dan Sungai Batanghari serta Kerajaan Majapahit di Sungai Brantas sebagai lalu lintas utama antarkota, antar pulau pada masanya. Sementara di Kerajaan Pasundan, misalnya, banyak nama tempat yang diawali “ci” yang berasal kata dari “cai” atau Air. Menunjukkan narasi kejayaan Kerajaan Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan sungainya.
Hidup selama berabad-abad dengan aliran sungai membuktikan kekuatannya setia menjaga alam. Dengan demikian, kita seolah menapaktilasi peradaban masa lalu untuk mengambil pelajaran bagi masa depan. Ternyata isu konservasi sungai tidak pernah basi. Sebab, mudah dipahami penyelamatan ekologis selalu mengusik dunia terhadap kemajuan-kemajuan modernitas.
Ketika kita sibuk mengejar gaya hidup modern dengan teknologi yang mengikutinya, kehidupan tradisi menawarkan solusinya ke arah ekologi. Salah satu esensi yang perlu dilakukan adalah peduli dengan orang lain yang mewujud dalam diri terutama menjaga ekosistem, karena krisis terjadi saat kita berhenti memikirkan sungainya. Mulai dari infrastruktur, ketersediaan akses dan fasilitas agar tetap lestari dari segala pencemaran memerlukan perhatian dan kolaborasi semua pihak.
Di lain pihak, konservasi sungai menjadi penentu masa depan pertanian di negeri ini. Bagaimanapun, komoditas pertanian di desa, akan menyuplai kebutuhan penduduk perkotaaan. Karena itu, konservasi sungai merupakan keniscayaan yang patut diperjuangkan. Artinya, kita tidak bisa lagi membaca bencana banjir ini sebagai kasus belaka. Kita perlu bersegera untuk membenahi sungai menjadi bagian yang tak bisa dihindari dari sebuah keputusan untuk mengevaluasi sesuatu. Suka atau tidak suka. (Jakarta, 02 Februari 2022).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny PHS