
Oleh: Drs Tumpal Siagian*)
OPINI
Jika saja kita ditanya, negara mana yang paling berperan dalam perspektif politik dan ekonomi dengan Indonesia?
Sudah jelas kita menjawab tidak hanya satu, tetapi dua sekaligus yakni China dan Amerika Serikat (AS). Bangkitnya pengaruh otokrasi politik dan ekonomi China sepuluh tahun terakhir semakin bergairah menjadi pemimpin global. Ditengah guncangan global soal tatanan Internasional tampak China berkembang pesat, berkat pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan investasi pada dekade terakhir merupakan kekuatan utama yang dapat menandingi AS.
Persaingan paling nyata terlihat ketika Presiden AS ke-45 diperintah Republik, Donald Trump dan China dipimpin Xi Jinping. China terus memperlihatkan untuk menjadi pesaing utama AS, sejak krisis pandemi Covid-19 pertama kali muncul di kota Wuhan. Sedangkan Donald Trump mengimbangi perilaku China secara global, hanya bisa diimbangi dengan tindakan menarik diri dari organisasi lembaga dunia yang berujung pada kerugian AS dalam kancah global.
Pada saat Donald Trump memilih pendekatan “America First”, sibuk mengintroduksi perang tarif, membangun dinding perbatasan, dan menghalau imigran, China dibawah Presiden Xi Jinping berhasil mengukuhkan dominasi ekonominya melalui investasi global dalam bidang infrastruktur. Membuka era baru perdagangan dan menghidupkan kembali “Jalur Sutera” yang menghubungkan Asia Timur dengan Eropa.
Pada 2013 Presiden Xi Jinping mengintroduksi Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/ BRI), yang semula bernama Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR). Proyek BRI adalah upaya ekspansi pengaruh politik China dalam visinya memperkokoh nilai ekspor China dan mata uang “Renmimbi”.
Lepas dari pilihan sikap yang memicu ketidakpuasan global terhadap kekuatan dollar AS/USD, China bekerjasama dengan Rusia dan negara- negara lain menentang hegemoni dollar AS/USD tersebut. Sebagaimana diketahui USD berkibar sewaktu Perang Dunia II, dimana ketika itu USA mau bergabung dengan Sekutu asal bersedia menerima USD sebagai mata uang transaksi mnyak dunia. Singkat cerita Sekutu menang. Dan USD makin berkibar dan meluncur menjadi mata uang bagi seluruh transaksi global.
China pun menunjukkan dirinya siap menantang dengan kekuatan yang dimilikinya mulai dari ekonomi, ideologi, teknologi dan posisi geografisnya. China menjadi pemain utama di bidang infrastruktur, telekomunikasi dan menjanjikan peta jalan untuk menekan emisi karbon. Salah satunya dengan penggunaaan kendaraan listrik, mengalihkan sumber energi batubara ke sumber energi bersih.
Gaung keberhasilan penanganan Covid-19 bisa dibaca tentang model politik China yang kuat dari segi ideologi, kepemimpinan yang terpusat di tangan Partai Komunis lebih unggul atas demokrasi liberal ala negara-negara Barat seperti AS. Bahkan, China mencuri perhatian Internasional, sesuatu yang dapat dilihat dari data vaksin Sinovac produknya yang dipakai di banyak negara.
Namun, dibawah Presiden Joe Biden kini terlihat pergeseran sikap dan kebijakan luar negeri AS. Sesuai platform partai Demokrat, salah satu prioritas yang mendesak adalah memobilisasi dunia, dengan mengedepankan multilateralisme dan menggandeng PBB dan organisasi Internasional, dalam menyelesaikan problem dunia. Mengembalikan sikap kepatutan berpolitik dan berkomitmen kembali dengan kesepakatan multilateral. Seperti Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim (Paris Accord on Climate Change) dan mengembalikan lagi hubungan baik dengan sejumlah organisasi dunia, Organisasi Kesehatan Dunia/WHO, Quad, dan WTO.
Quadrilateral Cooperation (Quad) yang berdiri sejak 2004 yang beranggotakan AS, Australia, Jepang, dan India dihidupkan lagi, sebagai upaya pembendungan kebangkitan China. Dari sudut teori politik relasi Internasional, Quad simbol dari ketidakrelaan negara hegemonik yang merasa terancam posisinya, dalam hal ini AS. Karena itu, AS menggalang kekuatan dari pihak yang dipersepsikan satu pemahaman tentang negara China yang menjadi ancaman dengan menggandeng negara Australia, Jepang dan India.
Tahun 2021 ini, anggota WTO dijadwalkan akan bertemu di Kazakhstan untuk mendapatkan kesepakatan secara substansial dalam perdagangan. WTO dinilai masih efektif mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan global. Sistem perdagangan multilateral di bawah WTO masih terus dibutuhkan untuk mengelola perdagangan dunia secara baik. Keberhasilan WTO diharapkan menjadi kunci dalam membentuk tata kelola ekonomi dunia yang lebih utuh.
Pengaruhnya ke Indonesia
Bagi Indonesia memang perlu juga melihat China dan AS dengan kacamata yang lebih realistis, terkini, dan penuh kalkulasi. Dengan tradisi politik dan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia berada pada posisi tidak memihak atau memilih siapa yang paling dekat ditengah persaingan yang kompetitif dan tuntutan globisasi ekonomi. Namun hakikat tujuan perspektif politik dan ekonomi kita adalah memperjuangkan kepentingan Nasional berupa kemandirian ekonomi yang sangat dibutuhkan dalam masa pemulihan.
Kemandirian ekonomi haruslah diwujudkan dan diciptakan kondisi yang memungkinkan berkembangnya kemampuan untuk itu. Konsep kemandirian sesungguhnya bukanlah ketersendirian dan keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan (interdependent) yang tak dapat dihindari dalam perdagangan Internasional. Justru persoalan kemandirian itu timbul karena adanya kondisi saling ketergantungan antar negara dalam proses ekspor- impor.
Kemandirian merupakan konsep yang dinamis. Sebab mengenali bahwa kondisi ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai- nilai yang mendasari dan memengaruhinya. Suatu bangsa dikatakan semakin mandiri jika semakin mampu mewujudkan kehidupannya yang sejajar dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain dengan kekuatannya sendiri. Kemandirian dengan demikian adalah paham yang proaktif, bukan reaktif atau defensif.
Bagi Indonesia, China dan AS sama- sama penting dan diharapkan kontribusinya dalam kerjasama. Persiapan operasional dan strategi implementasi menjadi krusial dalam memfasilitasi investasi yang memperkuat pengembangan rantai pasokan global (global supply chain) merupakan sinergi pemulihan ekonomi domestik dan global. Pendekatan ini mensinergikan investasi dan ekspor yang sangat dibutuhkan Indonesia di masa pemulihan. Sedangkan pemerintah memfasilitasi dan menyiapkan regulasi agar bisa berjalan lancar.
Tidak Ada Jalan Pintas
China dan AS terus menjadi mitra investasi tradisional Indonesia. Tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki kinerja perdagangan selepas pandemi selain membuka diri terhadap pasar global, dengan mengundang investasi dan industrialisasi.
Indonesia harus mengubah perspektif, tidak hanya sebagai negara konsumen, tetapi juga negara produsen yang menyuplai barang secara global. Untuk menjual barang ekspor yang besar, kita harus membuka pasar lebih kompetitif. Sebab itu investasi di sektor pengolahan atau manufaktur yang bernilai tambah dan berorientasi ekspor harus diperbanyak untuk mewujudkan peta jalan substitusi ekspor.
Ketatnya persaingan perdagangan barang dan jasa di sejumlah sektor, seperti otomotif, tekstil, alas kaki, telekomunikasi, dan teknologi informasi harus diiringi kesiapan daya saing dan perlindungan industri dalam negeri, khususnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Jika tidak, Indonesia dengan jumlah penduduk 237 juta akan dimanfaatkan sebagai pasar menggiurkan bagi produk negara lain, atau semata-mata menjadi sumber bahan baku.
Indonesia memasuki tren perdagangan baru. Indonesia perlahan-lahan meninggalkan reputasi sebagai negara pengekspor barang mentah menjadi pengekspor barang industri berkualitas tinggi. Meskipun harus diakui di panggung global, Indonesia masih kalah bersaing. Berdasarkan peringkat daya saing global 4.0 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2019, Indonesia berada di peringkat ke-50. Masih kalah dari Singapura (1), Malaysia (27), dan Thailand (40).
Ekonomi Nasional tentu akan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global, yang pada gilirannya dipengaruhi juga oleh perkembangan politik diberbagai kawasan. Ketegangan di wilayah Asia Pasifik mungkin akan mereda, terutama antara AS dan China. Dua ekonomi terbesar dunia itu diharapkan dapat berakibat positif bagi kegiatan ekonomi dunia untuk pemulihan ekonomi global yang mendorong optimisme pasar.
AS sebagai negara industri membutuhkan pasar global untuk produk-produknya. Secara khusus, Indonesia berharap AS berinvestasi pada industri alat kesehatan. Selain itu Indonesia juga mengharapkan peningkatan pendidikan, pertahanan, dan lingkungan hidup.
Kepemimpinan pemerintahan Demokrat Joe Biden diperkirakan isu perlindungan dalam ekonomi hijau akan menjadi pilihan. Rencana untuk mengakhiri emisi karbon untuk sektor energi bersih (clean energy).
Pesatnya pertumbuhan hubungan bilateral Indonesia-China 10 tahun terakhir terus meningkat dapat terlihat dari produk buatan China, seperti Oppo, Vivo, Xiaomi, dan Huawei banyak digandrungi konsumen kita. Sementara turis terbesar di Indonesia bukan lagi dari Jepang, Australia dan AS, melainkan China. Presiden Xi Jinping mengirim sinyal bahwa Indonesia menempati posisi penting bagi diplomasi mereka dengan pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) di Indonesia. Ini menandakan hubungan Indonesia-China kalau diolah dengan baik, dapat menjadi pilar stabilitas di Asia.
Menjaga hubungan baik dengan China dan AS yang terjalin lama harus direspons dengan tepat. Ada peluang negatif atau positif yang diperoleh atas hubungan tersebut. Meski demikian, kepentingan Nasional dan kestabilan di kawasan harus tetap menjadi pertimbangan utama. (Jakarta, 5 April 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S