
Albiner ‘Rabar’ Siagian *)
OPINI
Orang Batak mengenal tatanan perikehidupan yang disebut Dalihan Na Tolu (DNT). Terjemahan bebasnya adalah Tungku nan Tiga. Tungku (Batak: tataring), biasanya terdiri atas tiga buah batu, dipilih sebagai simbol representasi kekerabatan Batak. Tungku pertama mewakili dongan tubu (saudara semarga). Tungku kedua mewakili hula-hula (pihak keluarga asal ibu/ isteri). Sementara itu, tungku ketiga mewakili boru (anak perempuan dan pihak keluarganya setelah mereka menikah).
Konon, berdasarkan perbincangan saya dengan salah seorang tokoh budaya Batak terungkap bahwa pada hakikatnya DNT adalah relasi domestik (internal) Batak. Artinya, DNT adalah kekerabatan dekat (Batak: solhot) Batak yang tujuannya adalah untuk saling menopang di antara mereka dalam urusan domestik (keluarga).
“Siapakah di antara saudara kita yang berani mencampuri urusan rumah tangga (Batak: tataring) kita, yang merasakan hangatnya api dari tungku itu, kalau bukan keluarga kita?”, demikian beliau menambahkan penjelasannya.
Akan tetapi, belakangan ini, DNT yang pada dasarnya adalah relasi domestik (internal) bergeser hingga menjadi relasi eksternal. Jadilah DNT dimaknai sebagai perwakilan dari masing-masing kerabat dongan tubu, boru, dan hula-hula bagaimanapun jauhnya hubungan kekerabatan itu. Asal satu marga, misalnya, itu dianggap sebagai dongan tubu dalam konteks DNT itu. Demikian juga untuk kerabat dari pihak boru dan dari pihak ibu/ isteri (hula-hula).
Orang Batak memaknai dalihan atau tataring sebagai simbol bagi urusan internal (domestik) keluarga. Hal itu dapat terlihat dari penggunaan istilah ‘tataring’ untuk urusan domestik keluarga. Ambil saja ‘jambar tataring’ dan ‘tompas tataring’ sebagai contoh.
Jambar tataring adalah salah satu bentuk jambar (daging yang dibagikan pada saat acara pesta/ upacara adat) yang diberikan kepada seseorang (sekeluarga) yang sudah menikah (berkeluarga). Sementara itu, tompas tataring adalah istilah bagi suami yang kehilangan isteri (karena meninggal), terutama ketika meninggalnya pada usia muda.
Tataring juga dimaknai sebagai simbol mata pencaharian atau sumber kehidupan (barangkali karena tataring adalah tempat yang darinya nasi berasal). Oleh karena itu, seseorang yang menduda pada usia muda dianggap kehilangan ‘jantung’ kehidupan keluarga dengan meninggalnya isterinya (tompas tataring = tungku perapian tumbang dan hancur).
Dari penjelasan tentang makna dalihan atau tataring itu, dapat kita maklumi bahwa pada dasarnya DNT adalah relasi internal (Batak) yang kini mengalami proses eksternalisasi. Dan, hakikatnya adalah saling menopang dan membantu antar kerabat dekat di taraf domestik (keluarga).
*) Penulis Albiner ‘Rabar’ Siagian adalah Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si (Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat USU); Penulis dan Pegiat Adat dan Budaya Batak.
Editor: Danny S