
Oleh: Drs Tumpal Siagian (*)
OPINI
Di tengah pandemi Covid-19, Dewan Eksekutif UNESCO menyematkan Kaldera Toba menjadi satu dari 16 UGG (Unesco Global Geopark) baru yang ditetapkan dalam sidang itu, Selasa (7/7/2020).
Kita mengetahui bahwa Kaldera Toba adalah salah satu situs terunik dan terluas di dunia. Kaldera Toba terbentuk dari ledakan vulcano super dahsyat sekitar 74.000 tahun silam. Dasar Kaldera Toba dipenuhi dengan air yang disebut Danau Toba. Danau Toba meliputi 7 (tujuh) Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Humbahas, Toba, Samosir, Simalungun, Karo dan Dairi.
Pada tanggal 27 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo di Kabupaten Humbahas meresmikan “Food Estate” atau lumbung pangan seluas 60.000 hektar di Sumatera Utara. Ada 30.000 hektar merupakan lumbung pangan nasional di 4 Kabupaten, yaitu Humbahas, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Pakpak Barat. Lumbung pangan fokus mengembangkan tanaman bawang merah, bawang putih, dan kentang. Lantas, bagaimana kita merespons kedua khabar baik tersebut?
Geopark Kaldera Toba (Toba Caldera Geoprak) dan Food Estate keduanya berwatak “green economy”. Green economy sejak dilahirkan pada 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, dapat diartikan sebagai gagasan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial, sekaligus untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan secara signifikan.
Pemahaman green economy dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan, desa berwawasan lingkungan, bahkan penetapan kampung dan hutan adat menjadi dasar pembangunan kedepan diseputar Danau Toba. Hal ini selayaknya menjadi momentum “pemberdayaan masyarakat lokal” dalam mendorong pengembangan perekonomian, dan pembangunan berkelanjutan, pemeliharaan lingkungan ditengah berjayanya liberalisme ekonomi.
Apalagi tiga faktor utama penggerak ekonomi, yakni tanah, modal, dan tenaga kerja sebagian besar telah diliberalisasi. Pembangunan infrastruktur yang masif, investasi di sektor riel dan pariwisata akan menumbuhkan lapangan pekerjaan baru di berbagai lini mulai dari “low-tech” hingga “high-tech” mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pemerintah agar terus memperbaiki penggunaan Dana Desa untuk mengurangi penganguran dan kemiskinan di pedesaan.
Apabila kita fokus pada pemberdayaan masyarakat desa, ketersediaan tenaga kerja lokal harus memperhitungkan data neraca tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja lokal harus terpadu dalam tata kelola kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Dalam waktu transisi saat ini, yaitu pergantian generasi “baby boomers” dan “generasi X” menuju “generasi millenial Y dan Z”, dibutuhkan kesadaran dan kerelaan para generasi tua, mengubah gaya kepemimpinan otoritas hierarki ke gaya kepemimpinan memberdayakan (leadership from within) .

Geopark Berkelas Dunia
Joe Biden, Presiden terpilih AS, dalam kampanyenya memberi sinyal orientasi arah politik luar negeri yang peduli lingkungan dan perubahan iklim. Jadi, Geopark Kaldera Toba bisa dimanfaatkan mendongkrak pariwisata berbasis kesehatan, dan kelestarian lingkungan yang berkelas dunia.
Secara sederhana dapat dijelaskan disini, Geoprak adalah konsep manajemen sumber daya keragaman bumi (geodiversity) yang mencakup unsur geologi terkemuka, memiliki fungsi konservasi, sosio kultural dan pariwisata. Geopark Kaldera Toba tidak hanya menghadirkan keindahan alam (bukit, hutan, sungai dan danau), tetapi juga membawa renungan lebih dalam tentang geowisata.
Potensi lain adalah hutan. Apabila dikelola dengan baik, dipadukan dengan konservasi sungai kawasan Danau Toba bisa menjadi lumbung pangan di setiap Kabupaten.
Kita ketahui, hutan merupakan super organisme yang memiliki interkoneksi dengan spesies manusia dan hewan, seperti koloni-koloni burung dan semut. Andaikata hutan punah, tidak banyak spesies bertahan di bumi, termasuk manusia itu sendiri. Hutan juga berfungsi sebagai paru-paru hijau bumi tidak diragukan lagi, dan sangatlah perlu menjaga hutan dari kebakaran, atau penebangan liar akibat ulah korporasi. Karena kita pun sadar bahwa pepohonan ikut berjasa menjaga masa depan bumi dan penghuninya.
Sementara itu, merujuk pada konsep food estate menempatkan tanah sebagai sumber ketahanan pangan dengan perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi setiap warga terpenuhi secara adil dan berimbang. Tampak jelas, dengan penetapan Geopark Kaldera Toba dan food estate selaras saling mendukung, menjadi momentum untuk bangkit menghadapi tantangan memuliakan bumi dan lingkungan hidup, terhadap perkembangan ekologi yang selalu menjadi bagian peradaban manusia.
Sungguhpun demikian, semua itu tak datang begitu saja dari langit. Jangan bersikap “take for granted”, seolah peluang itu akan datang dengan sendirinya. Teknologi, khususnya digital telah memasuki kehidupan sehari-hari secara cepat. Kedepan akan tertata pola hidup, pola kerja, metoda pendidikan, serta pelayanan publik, kesehatan yang akan makin sarat teknologi.
Pemerintah Tekan Potensi Konflik Tanah
Untuk menekan potensi sengketa atau konflik pertanahan pada masa mendatang, Pemerintah perlu melanjutkan program pendaftaran tanah sistematik lengkap atau pemberian sertifikat gratis kepada masyarakat Toba. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) selaras saling mendukung antara Provinsi dan Kabupaten.
Pembenahan dimulai dari hal mendasar terkait hak tenurial dan hak adat hingga berbagai kasus lingkungan. Proses semacam “alih fungsi” lahan seperti penggusuran atas nama investasi, menimbulkan konflik agraria yang terjadi dewasa ini, sebagai prioritas untuk ditanggulangi. Kegagalan program disinyalir akibat terlalu “top down’, minim sosialisasi dan koordinasi diantara Kementerian/ lembaga, Provinsi dan Kabupaten terkait.
Dalam situasi ini, masyarakat Toba, khususnya masyarakat pedesaan seolah tidak memiliki pilihan selain melepaskan tanahnya. Kita seyogianya dapat keluar dari perangkap liberalisme yang menempatkan tanah sebagai komoditas perdagangan. Jangan sampai masyarakat setempat kehilangan ruang hidup karena tanahnya telah diserahkan ke pengusaha dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik dan modern.
Dengan demikian, proses perolehan izin untuk mengkonversi tanah pertanian pangan ke non pertanian, sudah waktunya semakin diperketat. Selain menghilangkan tanah-tanah pertanian rakyat, juga mengancam kelangsungan hidup petani kita, sekaligus mengurangi monopoli swasta atas tanah yang sebenarnya telah terjadi dibanyak tempat di negeri ini. Jangan sampai keberadaan investasi hanya untuk menggenjot pendapatan asli daerah, sementara kehidupan warga melarat.
Target maksimumnya tentu adanya eksekusi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria, redistribusi tanah, dan perhutanan sosial (terutama hutan adat). Keberhasilan reforma agraria dan perhutanan sosial, adalah keberdayaan rakyat secara ekonomi sehingga kemiskinan dan pengangguran dipedesaaan dapat ditekan serendah mungkin.
Fakta ini harus menjadi perhatian pemerintah dan pelaku usaha agar investor atau pemilik dana-dana besar memasukkan isu lingkungan dan perlindungan hak-hak individu dalam keputusan investasinya. Investor agar menghindari pembiayaan proyek-proyek yang dianggap mengganggu apalagi merusak lingkungan dan beralih ke pertumbuhan yang berkelanjutan.
Disamping keadilan distribusi asset tanah, kearifan lokal yang harmoni dengan alam yang ditekuni masyarakat Toba turun-temurun terbukti tangguh bersahabat dengan kondisi Danau Toba yang menyimpan aneka misteri tersimpan dari kondisi geografisnya. Kita harus berdialog lewat kearifan lokal yang diajarkan para leluhur. Dialog dengan bumi melalui budaya untuk menjaga keharmonisan manusia dengan semesta. Sebab, bumi tak hanya memperkuat kita dalam ketahanan pangan yang menghidupi manusia tetapi juga dalam proses mendukung ekonomi hijau (green economy) . Membangun kembali dunia yang lebih baik, lebih hijau, dan lebih sehat dengan tujuan mengatasi perubahan iklim, mengurangi polusi, dan meningkatkan kualitas udara.
Kolaborasi
Untuk menghadapi situasi akhir-akhir ini, kita dapat meniru masyarakat ketika menghadapi pandemi. Warga bisa bertahan menghadapi masalah karena berkolaborasi. Paradigma ini seharusnya diadopsi ketujuh kabupaten bahwa birokrasi tak boleh atau tidak bisa lagi bekerja sendiri. Tetapi harus berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, diluar pemerintahan (colaborative and network governance) . Kolaborasi selalu ditandai dengan orkestrasi peran yang baik dan harmoni diantara berbagai pihak, saling berbagi hasil (outcome) dan dampak (impact) .
Sinergi masyarakat sekitar dan peran pemerintah tetap dibutuhkan dalam pembangunan dan pelayanan publik. Dengan masyarakat yang koperatif, kerja keras Pemerintah berpadu dengan kerjasama masyarakat (awam, akademisi, media) akan menghasilkan produktivitas masyarakat terus bertumbuh, sehat dan produktif.
Tantangannya, adalah bagaimana caranya agar semua pihak mulai dari pemangku kepentingan di dalam dan di luar birokrasi pemerintahan, kelompok penekan, tokoh agama, berbagai lapisan tokoh masyarakat, anak rantau hingga ke akar rumput berkontribusi dalam pemantauan berkelanjutan untuk meluruskan jika terdapat penyimpangan di lapangan.
Strategi kebijakan dalam lintasan jangka panjang mendorong ketujuh Kabupaten memiliki kesamaan pandangan bahwa pemerintah daerah harus benar- benar menjalankan regulasi dan fungsi pengawasan memasuki new beginning atau babak baru Geopark Kaldera Toba agar berumur panjang tetap di posisi ini. Sebab, ketika pengawasan lemah julukan Geopark bisa dicabut kembali oleh UNESCO serta Food Estate pun bisa terbengkalai. (Jakarta, 31 Januari 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S