
Foto: Ilustrasi Danau Toba yang indah (foto ist)
OPINI
Jika Danau Toba bisa bicara, mungkin itulah yang akan diucapkannya. Ini Danau Toba, Kenapa Rupanya…?
Ungkapan ini tentu sangat kental bagi masyarakat Sumatera Utara, khususnya Medan, Siantar hingga ke Tapanuli, yang dulu di era tahun 80-an sering beredar di kalangan preman atau bahkan yang bukan preman sekalipun. Ungkapan itu memberi kesan yang sangat meyakinkan! Bahkan sangat tangguh, sehingga seolah-olah tidak butuh bantuan, atau nggak perlu diganggu gugat. Bahkan lebih jauh lagi, seperti nantangin (menantang), ‘Kenapa rupanya…?’ (Baca dengan logat Medan).
Mengapa demikian? Pasalnya, munculnya wacana pengembangan Danau Toba belakangan ini, dengan macam-macam dalih seperti: Wisata Halallah; Wisata Ramah Muslimlah, Wisata Syari’ahlah, dan aroma serupa lainnya, yang sekonyong-konyong mengusik keberadaan Danau Toba bersama lingkungannya yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun hidup dan berkehidupan.
Sontak saja, masyarakat sekitar Danau Toba, maupun masyarakat diaspora bahkan masyarakat pencinta Danau Toba hingga masyarakat yang berpikir rasionil dan realistis bereaksi. Bahkan dari berbagai elemen warga muslim pun menolak. Para mahasiswa pun berdemo penolakan.
Banyak pertanyaan yang muncul yang akhirnya menimbulkan polemik di masyarakat. Jika dikatakan harus halal, lha, apakah yang ada selama ini haram? Haram buat siapa? Bahkan yang perlu diperjelas lagi, siapa sih yang datang ke sana? Memangnya cuma muslim? Bagaimana dengan wisatawan dari mancanegara? Lagipula, apa hubungan langsung antara wisata dengan agama? Apakah wisata Danau Toba mau dijadikan wisata agama?
Penolakan dari berbagai penjuru dengan alasan masing-masing pun, menyerang balik wacana yang sempat viral sebelumnya. Dan ungkapan-ungkapan penolakan hingga yang bersifat menantang terhadap siapa yang dianggap menjadi sumber wacana pun (Gubernur Sumut Edy Rahmayadi), menjadi viral. Bahkan pernyataan-pernyataan di media sosial seperti di facebook, instagram hingga youtube, berseliweran selama beberapa bulan, dari Agustus, September hingga awal Oktober 2019 lalu.
Mengapa penolakan demikian keras terjadi? Karena ada sesuatu yang ingin dipaksakan. Karena ada maksud yang terkandung di dalamnya, ingin mengubah karakter yang sudah ada selama ini. Karena ada sesuatu yang berbau agama, yang ingin digeneralisasi. Karena kesannya ingin menguasai dengan sesuatu langgam yang baru. Karena ada yang merasa diinjak-injak keberadaannya di sana. Karena ada sesuatu yang mengandung unsur ego sentris. Karena mengandung unsur politis oleh penguasa lokal provinsi, yang dinilai ingin lebih menunjukkan arogansi. Dan masih banyak lagi alasan yang sangat kuat untuk menantangnya. Kenapa rupanya…?
Dari referensi tentang sosial kemasyarakatan, terdapat filosofi “Di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung”. Demikian pepatah mengajarkan kepada kita mengenai etika hidup di tempat orang lain bahwa setiap orang harus bisa menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat, jika berada dalam masyarakat tersebut. Setiap orang yang hidup di tempat orang lain, dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan tata aturan yang berlaku dalam masyarakat tersebut agar dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat.
Sebagai konsekuensinya, kita harus mempelajari berbagai aspek yang dalam masyarakat tersebut. Terlebih lagi bila akan melakukan kegiatan di dalam masyarakat, maka menjadi suatu keharusan bagi kita sebagai orang luar untuk dapat memahami dengan sebaik-baiknya keadaan sosial dan budaya masyarakat tersebut.
Oleh sebab itu, jika ingin mengembangkan sesuatu, hendaknya tidak mengubah apa yang sudah ada sebelumnya. Baik wisatanya, habit lingkungan, budaya masyarakatnya, maupun iklim yang sudah tercipta sebelumnya. Karena itulah yang menjadi ‘package’ yang sudah ada. Itulah norma-norma kehidupan yang sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya.
Bukan Mengatakan Tak Ingin Ramah
Tentu, Danau Toba dengan segala keberadaannya bukan mengatakan tak ingin ramah terhadap perkembangan yang diinginkan Pemerintah maupun masyarakat banyak. Karena namanya sebuah perkembangan yang ingin dinaikkan ke skala peringkat dunia, tentu sangatlah menjanjikan terhadap peningkatan sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Tidak mungkin masyarakat menolak atau mengabaikan harapan pertumbuhan ekonomi yang akan lebih menyejahterakan masyarakat. Sekalipun masyarakat sendiri nantinya akan menyesuaikan keramahannya dengan situasi yang ada.
Memang harus diakui, perlu ‘up grade’ beberapa unsur yang menjadi tolok ukur ‘market’ selama ini, supaya lebih bisa menyesuaikan terhadap tuntutan perkembangan. Bahkan dalam banyak hal, seperti: penguasaan bahasa Internasional (bahasa Inggris); pola-pola ‘service’ wisatawan dari mancanegara yang akan lebih beragam, seperti dari: Jepang, Cina, Perancis, Belanda, Jerman, Australia dan wisatawan mancanegara lainnya; serta up grade di bidang lain yang menjadi kebutuhannya.
Tapi biarlah market yang akan memberi tren perubahan-perubahan, akibat tarik-menarik antara demand dan supply (permintaan dan penawaran) yang tercipta, sehingga akan lebih natural dan fleksibel dalam tata cara keberlangsungannya. Jangan belum apa-apa, sudah ingin memaksakan kehendak. Ingin merusak yang sudah ada. Bah… kenapa rupanya….?
Tentu, jika Danau Toba ingin dijadikan Pemerintah sebagai satu di antara 10 destinasi wisata dunia, yang ingin diangkat menjadi ’Monaco of Asia’, mestinya dikembangkan dari dasar yang sudah ada. Bukan justru ingin mengubah apa yang sudah ada.
Kalaupun ada yang berubah di kemudian hari, sebagai konsekuensi dari tuntutan perkembangan, maka biarlah itu menjadi penyesuaian berikutnya. Karena apapun, pengaruh perkembangan itu, sangat mungkin memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang barangkali akan menjadikan persesuaian baru, maupun iklim baru.
Yang paling penting lagi, jika visi Danau Toba ingin digiring ke level dunia, maka orientasi yang mengikutinya juga hendaknya ke level dunia. Apa yang menjadi kebutuhan atau tuntutan terhadap perkembangan ‘service’ berkelas dunia, maka mestinya itulah yang menjadi ‘up grade’nya.
Bukan malah membatasi dan mempersempit ruang geraknya atau bahkan mengkotak-kotakkan manusianya dari segi agama. Generalisasi yang dibutuhkan adalah yang lebih universal, yang lebih mendunia. Bukan pandangan sempit yang malah mengecilkan kebesaran Danau Toba yang sebenarnya sudah dikenal dunia selama ini. Ai kenapa rupanya…?
Danny PH Siagian, SE., MM
Pemerhati Sosial Ekonomi dan Politik