
Oleh: Drs. Tumpal Siagian*)
OPINI
Investasi menjadi salah satu prioritas kebijakan pemerintahan Jokowi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi 2021 adalah 4,5- 5,5 persen, meski realisasi Triwulan I-2021, masih terkontraksi negatif 0,74 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Untuk bisa kembali kepada kinerja sebelum pandemi, Pemerintah melalui Kemenko Perekonomian menyebut ada tiga kunci pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini yaitu: konsumsi, investasi, dan ekspor. Tentu dengan problematika dan dimensi yang berbeda pada situasi pandemi Covid-19 sekarang ini.
Untuk menjaga daya beli masyarakat, konsumsi rumah tangga tampaknya bisa didorong pemerintah melalui program Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Dana Desa, Subsidi Listrik, dan Program Keluarga Harapan. Hal ini relatif lebih mudah bisa didorong Pemerintah dalam jangka pendek. Sementara investasi dan ekspor menempuh jalan terjal, karena dunia usaha global masih lesu.
Karena itu, kehadiran negara dalam urusan Investasi ini sangat diperlukan. Hal ini ditunjukkan dengan pembentukan Kementerian baru, yakni Kementerian Investasi dengan melantik Bahlil Lahadalia sebagai Menteri, bersama-sama dengan Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek). Serta Laksana Tri Handoko sebagai Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (28/4/2021).
Kementerian Investasi dibentuk karena Presiden ingin lompatan ekonomi sehingga investasi diutamakan karena perannya sangat strategis untuk membuka usaha dan lapangan kerja. Kalau hanya sebatas tingkat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi tak bisa digenjot karena BKPM sebatas koordinasi. Jadi, perlu dibentuk Kementerian tersendiri dan Kepala BKPM tetap dirangkap.
Berbeda dengan Riset dan Teknologi merupakan bagian dari Pendidikan dilebur menjadi Kemendikbud Ristek. Sedangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sudah lama jadi gagasan Presiden, untuk memenuhi aspirasi dan harapan publik yang membuncah terhadap riset dan inovasi. Namun, Kemendikbud Ristek dan BRIN harus bersinergi bekerjasama untuk menjadikan demografi Indonesia berkapasitas, berketrampilan dan berinovasi untuk membuka jalan mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Peter Drucker, seorang pakar manajemen dunia mengatakan, “You cannot predict the future, but you can create it”. Benar adanya bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan mewujudkannya.
Langkah lain yang tak kalah penting adalah pengamanan pasar untuk melindungi pasar dalam negeri dari gempuran impor. Geliat konsumsi masyarakat harus dioptimalkan guna menyerap produk domestik, terutama dalam rangka membangkitkan pelaku usaha UMKM. Keberlangsungan usaha di sektor-sektor padat karya perlu tetap dijaga agar tidak memunculkan penganggur baru.
Namun ada tugas besar dalam penerapan UU Cipta Kerja ialah melakukan pembenahan data (data center). Ada beberapa kekacauan data komponen ekspor-impor yang bertahun-tahun data produksinya berkabut.
Pembenahan itu mesti ditopang data yang akurat dan peta yang jelas untuk menyokong peningkatan ekspor. Jangan terus menerus dibikin bingung oleh kekacauan data. Formulasi kebijakan seringkali dilakukan tanpa menggunakan data sahih sehingga kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik dan benar, bahkan tidak jarang kebijakan tersebut justru menimbulkan permasalahan baru, terutama dalam bidang perdagangan ekspor-impor.
Data sebagai basis formulasi kebijakan, sebab itu pemerintah seharusnya menyelaraskan data antara pusat dan daerah terlebih dahulu. Implementasi kebijakan berbasis data harus didukung oleh political will (kemauan politik) supaya berdampak dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Serapan bahan baku lokal seyogianya menjadi prioritas atau diutamakan di tengah peningkatan bahan baku impor dalam merealisasikan target swasembada.
Kontribusi swasta pun diandalkan untuk raih target. Sektor publik dan sektor swasta harus saling mengisi dan memperkuat, tetapi tidak boleh berkolusi. Maka, diantara keduanya harus tetap ada batasan, legal maupun moral.

Mengelola Investasi Dengan Bijak
Upaya penanggulangan pandemi Covid-19 yang dilakukan sejak tahun lalu yang berlanjut hingga tahun ini, dengan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang cukup besar, akan mendorong pertumbuhan konsumsi domestik yang akan berimbas pada pemulihan sektor manufaktur dan perdagangan. Tentu, ini akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi kita. Bahkan Kemenkeu pada 2021, mematok pagu anggaran program PEN sebesar Rp 699, 43 trilliun.
Secara umum, pembangunan ekonomi Indonesia didasarkan pada kekuatan faktor produksi, investasi, dan inovasi. Ketika faktor produksi seperti sumber daya manusia (SDM) belum memadai, upaya untuk menjalankan ekonomi berbasis investasi terkendala.
Investor tentu ingin melihat ketersediaan tenaga kerja terampil dan siap kerja sebelum membangun bisnis dari investasinya. Situasi ini harus ditangani dengan tindakan yang lebih sistematis dan struktural melalui kebijakan Negara. Lebih dari itu, disebutkan bahwa Indonesia membutuhkan aneka inovasi untuk memulihkan dan kembali bangkit selepas Covid-19.
BKPM mencatat Indonesia menargetkan investasi sebesar Rp 858,5 triliun pada 2021. Realisasi investasi mencapai Rp 219,7 triliun sampai triwulan I-2021 atau 25,5 persen dari target, dengan asumsi ratio ICOR sebesar 6,77. ICOR atau Incremental Capital Output Ratio merupakan angka yang menunjukkan besarnya tambahan Investasi yang dibutuhkan untuk menambah satu unit ‘output’.
Rasio ICOR 6,77 berarti membutuhkan Investasi sebesar Rp 6,77 untuk menghasilkan tambahan ‘output’ atau produk domestik (PDB) senilai Rp 1. ICOR menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi suatu Negara. Semakin kecil ICOR, maka semakin sedikit investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan output tertentu.
Tentu tidak mudah untuk mencapai target investasi sebesar Rp 858,5 triliun ditengah ekonomi global yang masih lesu. Tetapi janganlah pula kita menambah ketertinggalan dengan mengambil resiko yang bisa lebih parah. Mengelola investasi dengan bijak, sebab diperkirakan sumber pembiayaan investasi ini berasal dari belanja pemerintah atau BUMN, kredit perbankan, pasar modal, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), utang luar negeri swasta, dan tabungan masyarakat.
Anomali Peningkatan Investasi
Beberapa tahun lalu, banyak perusahaan asal Eropa dan Jepang memindahkan pabriknya dari Indonesia. Situasi ini membuka tabir bahwa arus masuk Investasi ke Indonesia belum optimal. Ada anomali peningkatan investasi di Indonesia, yakni membutuhkan ekonomi tinggi. Hal ini terjadi karena ada praktik-praktik pungutan liar di berbagai tahapan investasi, dampaknya produk kita jadi tidak kompetitif.
Masalah Investasi diperparah regulasi ego sektoral lintas Kementerian/Lembaga dan aturan yang tumpang tindih antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam satu dekade terakhir obesitas peraturan terjadi, dimana hampir 15.000 peraturan Kementerian, belum termasuk perda di berbagai level menyulitkan investasi khususnya penanaman modal asing (PMA).
Hal inilah salah satu yang melatari kehadiran Kementerian Investasi diatas sekaligus untuk menurunkan ICOR dibawah level 6,77. ICOR Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, seperti Filipina 3,7, Thailand 4,5, Malaysia 4,6, dan Vietnam 5,2.
Namun, yang jadi pertanyaan sekarang, ekspansi investasi ini dilakukan untuk siapa? Apakah untuk seluruh warga Indonesia atau hanya untuk warga masyarakat di kota-kota besar saja?
Untuk menjawabnya ada beberapa hal yang mungkin perlu kita perhatikan. Pertama, prospek investasi sangat menjanjikan dalam artikulasi ekonomi yang membuat banyak perusahaan dan konglomerasi berlomba-lomba mendirikan perusahaan di sektor perdagangan, konstruksi, hotel, properti dan bukan manufaktur terutama di masyarakat perkotaan. Sebagaimana acap kita dengar orang-orang kota mendominasi “permainan” sedangkan orang-orang desa “terlempar” dan tertampung menjadi buruh di sektor-sektor tersebut diatas di perkotaan.
Karena itu, tantangan utama bagi regulator adalah menyiapkan payung hukum yang mampu melindungi serapan tenaga kerja lokal dari pelosok desa dan kota dari gempuran tenaga asing dalam konteks konsistensi keberpihakan. Sebagai sektor penyerap tenaga kerja, pemberdayaan tenaga kerja lokal sejalan dengan karakter sektor padat karya. Sebab, penentu utama untuk mendorong konsumsi adalah daya beli masyarakat yaitu kecukupan pendapatan yang siap dibelanjakan.
Kedua, perubahan paradigma dari ekonomi berbasis sumberdaya alam ke ekonomi berbasis inovasi, penting dilakukan ditengah kondisi Indonesia yang masih memerlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Ekosistem inovasi perlu ditingkatkan guna mendorong dan mempercepat pemulihan ekonomi ditengah revolusi industri 4. 0 yang ditandai dengan teknologi digital.
Ketiga, Implementasikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk mendongkrak berusaha bagi investasi asing dan domestik. Undang investasi asing/ PMA untuk masuk ke sektor yang berorientasi ekspor, terutama industri manufaktur. (Jakarta, 8 Mei 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S