
JAKARTA, BatakIndonesia.com — Alkisah, di satu sekolah di negeri yang konon dihuni kaum beradab bin beradat, mengajarlah seorang guru yang baik lagi bijaksana. Tidak seperti gurunya, anak didiknya bandal-bandal. Mereka senantiasa dilingkupi kebencian kepada sesama murid di sekolahnya.
Sang guru nyaris putus asa menghadapi perilaku murid-muridnya hingga kemudian dia menemukan cara yang bijak mengatasi persoalan pelik itu. Kepada setiap murid dia perintahkan untuk memasukkan sebuah jengkol tua ke dalam kantongan plastik yang digantungkan pada leher masing-masing anak.
Makin banyak teman sekolahnya yang mereka benci makin banyaklah jengkol di dalam kantongan itu. Akibatnya, makin beratlah beban yang mereka pikul. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu, bau busuk asam jengkolat yang keluar dari jengkol-jengkol itu kian menyengat. Demikianlah seterusnya, masing-masing anak makin menanggung beban berat dan makin tersiksa oleh bau tak sedap dari jengkol busuk itu.
Akhirnya, murid-murid itu menyerah. Mereka memohon kepada sang guru agar mencabut peraturan dan hukuman itu. Sang guru bersedia mencabutnya dengan cara bertahap. Setiap murid dapat membuang satu buah jengkol dari kantongan itu untuk setiap satu orang teman yang padanya kebencian dihapuskan. Demikianlah seterusnya, makin hari jumlah jengkol di dalam kantongan itu makin berkurang, hingga akhirnya habis seiring dengan terhapusnya nama teman-temannya dari daftar kebencian setiap murid. Legalah hidung mereka. Ringan pulalah beban mereka.
Begitulah analogi penderitaan yang kita rasakan dan tanggung kalau kita memendam dan menyimpan kebencian di dalam hati kita, apapun alasan kita membenci dan kepada siapapun. Apalagi kita tidak tahu alasan apa dan kepada siapa kita benci, betapa malangnnya hidup kita!
Penulis: Albiner Siagian