
BatakIndonesia.com — Alam semesta penuh dengan aneka ragam sumberdaya, ada yang biotik dan ada juga abiotik. Salah satu penghuninya adalah umat manusia, dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya. Wajar berjulukan makhluk tertinggi di antara makhluk lainnya.
Umat manusia menjadi pengendali utama dalam setiap proses keberadaan bumi tercinta ini. Dengan akal sehat, hati nurani, moral, tatanan, dan emosi jiwa memungkinkan berbuat apa saja demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Penyelewengan akan berbagai kelebihan yang dimiliki umat manusia tidak jarang menimbulkan masalah besar, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Tatanan atau norma-norma lahir secara alamiah dan berkembang menjadi perekat komunikasi dan relasi sosial. Sesuai perubahan waktu, di sana-sini terjadi perubahan yang sifatnya lebih menguntungkan keberadaan umat manusia itu sendiri. Hubungan simbiose mutualistis antarmanusia menciptakan harmonisasi dan dinamika yang produktif.
Pada awal terbentuknya peradaban manusia. Pola dan cara hidup masih sangat sederhana, di mana tersedianya pangan walapun dengan cara-cara sederhana. Norma-norma dan relasi sosial tumbuh sesuai dengan hubungannya dengan alam.
Perilaku irrasional sering hadir dalam menjalani hidup sehari-hari. Sanksi sosial lahir atas dasar pelanggaran terhadap kebiasaan yang berjalan normal.
Peradaban umat manusia berubah seiring dengan perkembangan kebutuhan di antara berbagai keinginan yang beraneka ragam. Tidak dapat dipungkiri, otak manusia makin besar, merupakan modal utama yang melahirkan perubahan mendasar dalam setiap proses kehidupan. Ada penemuan, inovasi, kreativitas, motivasi menjadi kekuatan untuk meningkatkan status dan kehidupan itu sendiri.
Praktik-praktik dalam kehidupan tidak terpisahkan dengan khayalan, impian, dan harapan. Semuanya itu selalu hadir dalam benak setiap orang, bumbu kehidupan, walau terkadang meninggalkan kesan tidak membahagiakan. Ada kalanya muncul teropong yang mampu mengantar impian dan harapan seolah-olah dunia milik sendiri.
Bangunan memori yang indah dalam otak manusia mampu mengantarkan lahirnya lirik yang membahagiakan, begitu juga sebaliknya. Jam terbang seseorang mampu memperbaiki pengalaman hidup dan wawasan lebih produktif, inovatif, dan kreatif. Semuanya itu mampu mengubah perilaku baik secara individu maupun sosial.
Relasi sosial terbangun atas dasar kebutuhan bersama dalam menggapai hidup yang serasi, selaras dan seimbang. Saling ketergantungan menjadi kategori makhluk sosial membentuk atribut saling mengisi. Kekosongan individu didapatkan dari sekitarnya melalui pertukaran informasi. Kejadian seperti ini mampu menghantarkan kemajuan pribadi atau komunitasnya.
Apakah kompetisi antarindividu atau kelompok masyarakat sesuatu yang diharamkan dalam pergulatan hidup? Akal sehat selalu mengajak kita agar tetap pada posisi yang saling menguntungkan tanpa tidak ada yang merasa dirugikan.
Walau di sisi lain, sering juga hadir bahwa persaingan hidup merupakan hantu yang menakutkan. Semuanya itu seyogyanya menjadi dinamika menuju masyarakat madani. Kehadiran masyarakat madani mendorong terbangunnya bingkai untuk melahirkan peradaban modern.
Perubahan peradaban dari yang sederhana atau tradisional menjadi modern membutuhkan rentang waktu yang panjang, pengorbanan, dan kesabaran. Seiring berjalannya waktu, perubahan demi perubahan menghadapi beraneka ragam tantangan, cobaan, dan ketidakpastian.
Pada berbagai kejadian, ada yang menarik untuk kita amati, misalnya pada persimpangan jalan. Ada petugas yang mengatur perjalanan atas dasar mengharapkan sesuatu, sebutlah namanya Pak Ogah. Para pengguna jalan ada yang memberi balas jasa, tetapi ada juga hanya sekadar memberi klakson atau melambaikan tangan.
Waktu saya tanya kawan driver, mengapa memberi uang, apa dasarnya? Si driver hanya menjawab, kasihan. Apa ada pertimbangan yang lain? Kita was-was juga, mobilnya dibaret. Berkaca dari peristiwa kecil ini, apakah rasa kasihan lahir atas dasar kasih atau keterpaksaan karena adanya rasa takut.
Hubungan antara manusia dengan lingkungannya, baik yang terkendali maupun tidak terkendali, selalu termonitor atas dasar berbagai pertimbangan. Pertimbangan atas dasar kelumrahan dan sudah menjadi habit merupakan cerminan naluriah tingkat tinggi yang dimiliki makhluk sosial.
Apakah rasa kasih menjadi milik semua makhluk hidup? Faktanya dapat kita amati pada setiap momen pergulatan setiap makhluk hidup. Apa lantas kita berani mengatakan bahwa binatang memiliki rasa kasih? Manusia sebagai makhluk tertinggi, memiliki otoritas untuk memberikan atribut atau pun status bagi makhluk lainnya.
Kasih muncul di saat hati tergugah sebagai wujud adanya pertimbangan yang masuk akal. Rasa kasihan hadir cenderung muncul secara spontan dan bersifat emosional. Kasih tidak pernah terjerat oleh rambu-rambu yang mengaturnya, hampir bebas nilai. Di sisi lain, rasa kasihan sering juga terbentur dengan peraturan yang datang dari pemilik otoritas.
Lantas, bagaimana kita mengukur kepedulian seseorang atau suatu komunitas? Apakah ada dasar yang bersifat universal? Siapa atau kelompok mana saja menjadi pelaku kepedulian sosial itu?
Secara normatif, kasih menjadi parameter bahwa telah terjadi atau berlangsung adanya kepedulian sosial. Kita melayani atas dasar kasih tidak pernah mengharapkan seberapa besar dampak positifnya pada perubahan keberadaan seseorang atau komunitas tertentu. Kita hanya berharap bahwa segalanya berlangsung dengan baik atas dasar saling menyenangkan. Takaran kepedulian sosial sulit dikuantifisir sebab tidak dibatasi oleh hasil dan waktu, yang penting adanya proses menuju perbaikan.
Apakah saya, kita, kami, atau pemilik otoritas pemerintahan memiliki kewajiban menjadi bagian dari agen kepedulian sosial? Pada umumnya manusia atau komunitas yang mendahulukan kewajibannya melampaui atas hak-haknya dapat dikategorikan menjadi bagian dari kepedulian sosial. Tinggal bagaimana memastikannya, apakah karena keterpanggilan informal atau hanya atas dasar kewajiban semata karena berbagai norma atau aturan formal?
Apakah pengelola negara menjadi bagian dari pelaku kepedulian sosial? Apakah di antara kita ada yang menjadi aktor kepedulian sosial?
Saya tidak menyimpulkannya. Mari kita analisis dan renungkan: apakah kepedulian sosial itu fakta atau mitos? Biarlah batasan yang sederhana sebelumnya menjadi acuan untuk mengukurnya.
Penulis: Kadiman ‘kale’ Pakpahan (sang pemimpi)