
Ada lagu yang saya senang jika kita berbicara bagaimana orang Batak gigih menyekolahkan anak-anaknya. Lupa judulnya, tetapi syairnya diawali dengan Hugogope mancari, arian nang bodari lao pasikkolahon gellengki. Naikkon do Sikkola, Satimbotimbona, ittap ni natolap gogokki. Marhoi hoi peau inangda, tu dolok tu toruan, dan seterusnya.
Luar biasa, penciptanya berhasil menorehkan syair merekam militansi orang Batak menyekolahkan anak-anaknya, setinggi-tingginya dengan susah payah bahkan marhoi hoi. Semua kita punya ayah, langsung di benak kita bagaimana ayah ibu kita marhoi hoi. Kira-kira, pagi tanpa sarapan, sudah pergi ke ladang. Siang makan sampai sore bahkan mangkuling sese baru pulang berjalan kaki. Capai dan baru makan malam serta istirahat.
Saya mengalaminya, lagu ini mengena pada diri saya sendiri. Orangtua sebagai Guru SD Negeri dan Ibu petani tulen merangkat bidan desa tradisional keahlian khususnya, menyekolahkan saya setinggi-tingginya. Artinya kemampuan mereka setinggi S-1, Doktorandus Ekonomi di Universitas Kristen Satya Wacana. Pasca bekerja, kesadaran saya muncul menyekolahkan adik-adik karena orangtua sudah tidak kuat lagi. Estafet. Beratkah? So pasti berat, sebagai PNS baru, harus menyekolahkan adik dua orang di Perguruan Tinggi, di samping anak-anak empat orang. Memaksa saya harus mengajar di PT selama 5 tahun pertama menambah pendapatan dari gaji.
Pasti pembaca yang budiman ingin tahu kiat apa yang saya mainkan mencukupi biaya pengeluaran pendidikan itu? Tidak mudah, tetapi prinsip hemat dan menabung menjadi menarik diceritakan secara ringkas.
Program Menabung, khusus uang sekolah. Anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat, buka rekening di Bank tentu atas nama ibunya, boru ni Rajai. Kita sudah tahu berapa uang Sekolah TK, SD, SMP, dan SMA, sesuai tahapannya. Nah, menabunglah saya untuk pembayaran bulan berikut. Lebih sering menabung, setiap ada uang rejeki, perangkaannya melompat ke bulan berikut. Pendek kata, jika anak masih TK, maka uang sekolah sampai kelas 2 TK sudah ada di tabungan. Sama halnya SD, cicil tabungan tiap ada rejeki, mengejar ke bulan berikut sampai satu tahun bahkan cara itu untuk 6 Tahun sekolah SD. Metoda yang sama, saat anak SD, maka uang sekolah SMP sudah tersedia dan seterusnya SMA bahkan Mahasiswa.
Apa dampak psikologisnya, ibu anak anak, tidak lagi pusing memikirkan uang sekolah anak pada hari jatuh tempo membayar uang sekolah. Tinggal mengambil tabungannya dari pos buku sendiri-sendiri. Kami hanya fokus kepada pekerjaan rumah sehari-hari, kebetulan sekolahnya di swasta Petra Surabaya. SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Hanya dua orang putriku nomor 3 dan empat, Fritska (Jurusan Hubungan Internasional) dan Christy (jurusan Pskikologi) yang sekolah di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Airlangga. Anak pertama Sando (Petra, jurusan Design Grafis) dan kedua Cindy, jurusan Komunikasi). Puji Tuhan anak-anak kami semuanya lulus dan bekerja di Pemerintahan, kecuali terakhir sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru.
Ternyata jika anak-anak mandiri, membuat orangtua seperti saya bisa fokus bekerja di kantor ASN Kementerian ATR/BPN yang berpindah-pindah kota bahkan pulau. Namun kediaman kami tetap di Sidoarjo, Jawa Timur. Cara kami menghindari terjadi degradasi pendidikan jika mereka pindah-pindah mengikuti orangtua.
Tetap sebenarnya marhoi-hoi pasikkolahon gellenghi, satimbo timbona. Sando sudah S-2 di IKJ Jakarta dan Fritska S2 lulus di University of Manchester, Inggris. Puji Tuhan.
Mari bapak, ibu, saudara/i, kawan-kawan seperjuangan, untuk berjuang keras memajukan generasi muda orang Batak yang lebih baik dari kita sendiri. Supaya orang Batak di Bonapasogit dan di mana pun berada, bisa memiliki semangat yang sama memajukan bangso Batak dari sisi pendidikan, karena melalui pendidikan paling mudah mengubah nasib, pekerjaan mereka, sesuai tingkat pengetahuannya kelak di kemudian hari. Buatlah mereka lebih maju dari kita orangtuanya. Salah satu upaya kita sejalan dengan strategi perjuangan FBBI, pemberdayaan masyarakat termasuk anak-anak kita sendiri.
Selamat dan sukses selalu.
Jakarta, Kamis, 2 September 2021.
Ronsen Pasaribu (Ketum FBBI)