
Oleh: Drs Tumpal Siagian*)
OPINI
Negara kita dianugerahi lautan luas dengan kekayaaan hayati berlimpah. Di laut ada ikan, garam, rumput laut dan terumbu karang. Kontribusinya sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia, sebagai sumber pangan, jalur transportasi, pemicu pertumbuhan ekonomi dan kesehatan. Perpaduan ini disebut ekositem kelautan dan perikanan menawarkan tempat bagi nelayan yang hidup setia dengan laut.
Anugerah besar ini patut disyukuri. Namun di sisi lain, nelayan kita tidak pernah naik kelas. Impian dan asa nelayan untuk sejahtera, maju, modern, dan bermartabat masih jauh dari jangkauan. Dilema mendera nelayan terasa begitu pengap dan sesak. Padahal, ikan yang dihasilkannya merupakan makanan keseharian dan penyelamat warga dari makanan bergizi rendah.
Gejala makin sempitnya penguasaan perairan laut, sumber daya ikan yang menipis berkelindan dengan persoalan pelik perbatasan laut berpotensi mendegradasi kehidupan nelayan kita. Lama kita berjuang untuk menentukan batas laut ini. Berkat konsepsi Prof Mochtar Kusumaatmadja tentang “Archipelagic State” yang diterima United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia dan negara kepulauan lain seperti Jepang, Filipina, Papua New Guinea, Selandia Baru dan lainnya diakui memiliki kedaulatan atas perairan kepulauannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kepulauan Nusantara berarti gugusan beberapa puluh pulau atau kumpulan tanah atau daratan yang dikelilingi air, seperti laut, sungai, atau danau.
Negara Maritim Terancam
Langkah perkembangan kemaritiman Nasional yang tadinya progresif dari waktu ke waktu kemudian mengalami kemunduran. Adanya kemunduran dalam perikanan laut kita sedikitnya dipengaruhi tiga persoalan utama, yakni pencurian ikan, penyimpangan perizinan, dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Jika ketiga hal tersebut tidak segera dibenahi oleh Pemerintah dan aparat keamanan, upaya memantapkan Indonesia sebagai negara maritim terancam dan hanya sebatas retorika.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ekspor perikanan Indonesia sepanjang tahun 2020 mencapai 1.262.000 ton dengan nilai 5,203 miliar dollar AS. Volume itu meningkat 6,6 persen dibandingkan dengan tahun 2019, sementara nilainya tumbuh 5,4 persen.
Di dalam negeri, konsumsi ikan Nasional pada 2020 meningkat 3,47 persen menjadi 56,39 kg per kapita dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebesar 54,5 kg perkapita. Data ini menunjukkan pamor sektor perikanan membaik meskipun pandemi Covid-19 menerpa. Hal baik yang dapat dipetik bahwa kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan meningkat sebagai makanan sehat dan kaya protein untuk medongkrak daya tahan tubuh. Namun, peningkatan konsumsi ikan itu tidak berbanding lurus dengan perbaikan kehidupan ekonomi nelayan kecil.
Mayoritas pelaku usaha sektor perikanan tangkap, saat ini adalah kaum marjinal, nelayan kecil dan tradisional. Perikanan tangkap nyatanya masih menghadapi ketimpangan hulu-hilir, mulai dari sumber daya, prasarana dan saranan produksi hingga akses pasar. Peliknya kesenjangan itu bermuara pada tingkat kesejahteraan nelayan yang timpang. Bagaimana nelayan bisa melaut, jika sebagian besar modal perbekalan habis untuk operasional?
Beban biaya perbekalan melaut dengan ongkos bahan bakar minyak (BBM) menjadi momok yang menghambat upaya nelayan kecil untuk naik kelas dan sejahtera. Penyaluran BBM bersubsidi yang belum merata menjangkau nelayan kecil menjadi masalah klasik yang terjadi berulang hampir setiap tahun Frasa “bagaimana” disini bermakna luas. Pada situasi krusial begini, disinilah jejak peradaban harus dibangun. Diperlukan proses pencerahan kembali ke akal budi manusia yang jiwanya terhubung ke relasi kelautan dan kearifan lokal kesemestaan.

Mafia Ikan
Banyak ancaman di depan mata yang berpotensi mendegradasi eksistensi usaha perikanan, antara lain: kegiatan over fishing, illegal dan destructive fishing di kawasan perairan rawan pencurian ikan. Diantaranya perairan Natuna, Malaka, perairan Sulawesi, perairan Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Bahkan, diperparah lagi pencurian ikan menggunakan kapal ikan asing dengan beragam modus dari perizinan/ lisensi akal-akalan hingga alat tangkap cantrang yang tidak ramah lingkungan.
Sejak awal tahun 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 94 kapal, terdiri dari 24 kapal ikan asing dan 70 kapal ikan Indonesia. Kapal- kapal ikan asing ilegal itu meliputi 6 kapal berbendera Malaysia, 2 kapal ilegal berbendera Filipina, dan 16 kapal berbendera Vietnam. Kapal ilegal asal Filipina yang ditangkap itu adalah FB Genevieve berukuran 85 gross ton (GT) dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine) dan FB Ca Gie (90GT) yang mengoperasikan alat tangkap pancing ulur tuna (hand-line). Sedangkan kapal Malaysia melakukan pencurian ikan dengan modus pemancingan rekreasi (sport-fishing) dengan alat tangkap pancing joran dengan menggunakan kapal cepat (speed-boat) yang dilakukan di perairan Indonesia. Hal ini terjadi sebagai imbas dari beroperasinya kembali kapal ikan eks asing dan rencana dibukanya PMA di kapal perikanan sehingga mempersulit pengawasan menyeluruh.
Ada kecenderungan kapal asing yang dibeli pengusaha domestik tetap mempekerjakan tenaga kerja asing. Selanjutnya, dengan memakai bendera Indonesia, kapal itu bebas berkeliaran di perairan Indonesia tanpa takut ditangkap oleh petugas/ aparat keamanan laut. Mereka beroperasi sebagai pemegang izin perikanan tangkap jauh dari prinsip hilirisasi dan penyerapan tenaga kerja, diduga ada mafia yang melibatkan aparat Pemerintah Pusat dan Daerah dalam kasus ini.
Sementara nelayan Andon ilegal ditengarai semakin marak beroperasi di perairan Indonesia Timur mulai dari Maluku hingga Papua, dan bisa memicu konflik horizontal dengan nelayan lokal. Nelayan Andon adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan di luar daerah asalnya, dalam kurun waktu tertentu lalu akhirnya kembali ke daerah asalnya. Karena kehadiran negara yang lemah, beberapa perusahaan justru memanfaatkannya untuk meraup keuntungan dari perairan laut Nusantara.
KKP mencatat, total potensi stock ikan Indonesia mencapai 12,5 juta ton per tahun dengan jumlah ikan yang boleh ditangkap untuk potensi lestari mencapai 10,2 juta ton per tahun. Hingga kini potensi lestari yang termanfaatkan baru 6,8 juta ton sehingga ada sisa kuota tangkap sebanyak 3,4 juta ton. Sisa kuota tangkap akan dibagi dua untuk dimanfaatkan kapal eks asing dan kapal-kapal nelayan kecil.
Sejumlah nelayan kecil pengguna alat tangkap yang lebih ramah lingkungan seperti pancing dan bubu, saat ini kian terdesak dengan nelayan cantrang yang mengeruk beragam sumber daya ikan memicu konflik karena ditengarai merusak lingkungan. Dalam hal ini, perlu tindakan tegas dari Pemerintah, selama elite pemangku kepentingan tidak berpijak pada keberpihakan nasib nelayan kita semakin nestapa. Betapa mahirnya kita mempermainkan kata-kata, ekosistem kemaritiman diagungkan secara lisan, namun dikhianati dalam perilaku.
Komitmen Negara
Kini, saatnya kita menata kembali strategi industrialisasi pengolahan sektor kelautan dan perikanan agar lebih fokus pada industri yang memiliki keunggulan komperatif dan berkelanjutan. Agar kita bisa bersaing dengan negara- negara lain, hilirisasi harus terus dilakukan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan memaksimumkan sumber daya kelautan kita. Komitmen negara dalam mengatasi ketimpangan pengelolaan perikanan dan kesejahteraan nelayan kini diuji. Konsistensi keamanan, kualitas lingkungan (SDGs) dan infrastruktur layak juga diperlukan.
Saat ini KKP telah memetakan 11 wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP-NRI) akan didorong untuk mengenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Setidaknya 6 wilayah didorong menaikkan tangkapan ikan karena dinilai belum mengalami penangkapan ikan berlebih (over-fishing). Diantaranya di Laut Arafura, Pemerintah berencana menambah izin penangkapan untuk tiga ribu kapal guna mendorong produksi tuna, tongkol, dan cakalang.
Persoalannya, belum ada data terkini terkait stock ikan di seluruh WPP-NRI. Padahal, data stock ikan disetiap WPP-NRI sangat penting dalam menentukan jumlah kapal yang diperbolehkan, jenis ikan yang boleh ditangkap, alat tangkap, dan periode penangkapan ikan. Hal itu mutlak diperlukan untuk memastikan peningkatan produksi ikan sesuai dengan daya dukung sumber daya.
Di lain pihak, pemetaan persoalan dan solusi yang tepat dibutuhkan dalam mengatasi permodalan nelayan. Banyak nelayan membutuhkan kredit modal usaha dan investasi agar hilirisasi bergerak lebih cepat. Tapi perbankan juga masih ragu dari aspek resiko. Karena kerap mengangap sektor ini berisiko tinggi, sehingga sulit mengakses kredit. Karena itu dibutuhkan kebijakan secara komprehensif, yang bisa menutup celah kerentanan (insecurity) nelayan yang dapat menyentuh dimensi permasalahan legalitas seperti pemenuhan agunan dan keberpihakan.
Keberpihakan membuka akses yang luas menyediakan akses modal usaha sebagai kunci mengentaskan kemiskinan para nelayan sekaligus dalam meningkatkan daya saing serta relevan dengan perubahan yaitu produk dan pasar. Kita tentu sepakat, kesejahteraan nelayan kita yang berkeadilan haruslah menjadi tujuan akhir. Namun tanpa dukungan Pemerintah, nelayan sulit bertahan. Kisah nelayan kita yang bekerja keras di laut, menjaga kedaulatan kita mengendalikan perahu meliuk berzig-zag di antara ombak, seharusnya menjadi dimensi kesejahteraan kehidupan penguat nelayan mengarungi samudera. (Jakarta, 3 Agustus 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S