
Oleh: Drs. Tumpal Siagian *)
Oleh: Drs Tumpal Siagian *)
Meski pembangunan Kawasan Danau Toba (KDT) sungguh luar biasa, tapi belum berbanding lurus dengan pengelolaan yang optimal. Masalahnya, kata pembangunan disini tidak bermakna kesejahteraan dan keadilan ekonomi, tetapi terfokus pada angka pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Padahal, hakikat pertumbuhan ekonomi semestinya membutuhkan upaya transformasi, meliputi kompetensi, kultural, dan operasional menuntut bisnis usaha agar lebih lincah dalam pencipataan nilai tambah. Disamping itu, pembenahan kualitas sumber daya manusia (SDM) penting dilakukan. Jangan sampai terjebak pada hal-hal eksklusif, persoalan sosial dan kesehatan juga menjadi faktor yang diperlukan untuk membangun ekosistem baru di KDT.
Bukan cuma pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang didorong, tetapi perlu komitmen Pemerintah untuk ikut campur tangan melalui kerangka pengaturan (regulatory framework) yang memberi insentif kepada pengusaha sekaligus menciptakan lapangan kerja pada msyarakat sekitar KDT. Dalam bahasa ekonomi harus ada “trickle down effect” (tetesan ke bawah) berjalan dengan serasi. Seiring dengan waktu, KDT sudah menjadi Geopark dan destinasi wisata superprioritas mestinya wajah kepemimpinan di KDT perlu berubah dari “Raja Padoha” menjadi pelayan untuk rakyatnya.
Perjalanan historis
Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari masa lampau untuk masa sekarang dan masa depan. Terlampaui sudah perjalanan historis nan inspiratif ketika tahun 1961-1967 saya SMP dan SMA bersekolah di Soposurung, Balige. Denyut nadi kehidupan di Balige sudah mulai bergerak sejak pukul 05.30. Biasanya, warga mulai berlalu lalang untuk berangkat kerja, belanja ke pasar atau sekolah. Aktivitas semakin riuh seiring matahari terbit, giliran anak sekolah berjalan beriring jalan kaki atau bersepeda menuju Soposurung yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari pasar Balige. Sementara warga lansia tidak sedikit berangkat ke kedai kopi berkombur (ngerumpi) membawa cerita hidup dan perjuangan masing-masing.
Tahun 1967 saya tamat dari SMA Negeri Balige berangkat urbanisasi ke Jakarta dengan KM Bengawan dan akhirnya melanjutkan sudi di Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta. Urbanisasi adalah kata kunci pada waktu itu. Namun, beberapa perantau pun akhirnya pulang kampung karena gagal meniti peruntungan di kota, dan sebagian kecil karena pensiun.
Kalaupun ada teman-teman berusia produktif bertahan di desa menjadi petani, jumlah mereka tidak terlalu banyak. Demografi desa kala itu tentang gambaran penduduk usia tidak produktif di dominasi anak-anak dan orang-orang lanjut usia.
Setelah lulus, bekerja, di salah satu BUMN, dan pensiun tahun 2005, saya berkali- kali pulang ke kampung saya di desa Banualuhu, Kecamatan Sigumpar, Kabupaten Toba. Kunjungan demi kunjungan membuat saya merasa terkesan. Dulu, di pedesaan Sigumpar alat-alat pertanian masih sangat sederhana, namun hasil pertaniannya cukup baik. Sekarang alat-alat pertanian sudah modern, tapi, mengapa hasil pertaniannya tidak bertambah baik?
Akhir November hingga awal Desember 2021, saya kembali mengunjungi Balige. Saya melihat keceriaan masyarakat seperti saya menemukannya di ibu kota Jakarta, semuanya “trendy” dan bergaya hedonis dengan telpon genggam mereka. Sama seperti orang kebanyakan masyarakat urban, mereka tenggelam dalam aktivitas menggunakan telpon genggam sudah seperti orang sakau.
Mengintip denyut nadi warga Balige, saya ibarat menyaksikan warga berlalu lalang dengan peragaan jenis pakaian necis dan kekinian. Lelaki ada yang mengenakan jacket, T-shirt, dan kaos oblong. Sementara perempuan ada yang mengenakan rok, blus, dan kerudung/ jilbab.
Memang, dalam sepuluh tahun terakhir, setelah KDT dimekarkan menjadi 7 ( tujuh) Kabupaten, saya mengamati situasi yang berbeda. Saya menemukan lumayan banyak orang-orang yang bermukim dan berkarya di desa di dalam usia produktif mereka. Mulai dari pegawai pemerintah daerah, pegawai hotel, bertani, berwirausaha, yang berbeda dengan gambaran penduduk yang saya jumpai sebelumnya. Tampaknya, ini proses yang lebih realistis menuju keseimbangan baru, ada tenaga kerja lokal, ada yang pendatang. Ada yang Muslim, ada yang Kristen.
Industrialisasi pun menyeruak, mengancam tenaga kerja lokal dan sangat rentan terhadap hilangnya identitas budaya atau tradisi turun temurun. Jauh lebih rumit lagi lahan sawah yang produktif beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan. Ini terus terjadi dari tahun ke tahun sehingga kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi hingga saat ini.
Apakah pesatnya modernisasi tak memberi peluang pada kultur yang pada dasarnya agraris ini tidak bisa menawarkan untuk hidup setia bersama alam? Suara alam, kicau burung, gemericik air hujan, atau desir angin pepohonan dapat bermanfaat bagi kesehatan menjadi renungan untuk menjaga kesegaran pikiran.
Masyarakat adat harus menjadi bagian dari solusi. Sebab, merekalah yang memiliki pengetahuan turun-temurun (kearifan lokal) dari nenek moyangnya. Nilai semacam ini seringkali tidak dipahami oleh ilmu modern. Sekarang, tinggal mau atau tidak kita berkomitmen untuk menjalankannya?
Penguatan SDM
Berbagai penelitian menyatakan bahwa leluhur Nusantara, termasuk leluhur suku Batak berasal dari berbagai suku Afrika dan datang melalui Asia masuk ke Nusantara dan migrasinya alami dan bertahap. Disinilah kita melihat bahwa leluhur kita adalah bangsa pengelana dan perekat kebhinnekaan adalah warisan budaya sejak dahulu kala.
Sekarang, migrasi penduduk antarpropinsi yang disebut pendatang bahkan asing sudah masuk ke KDT. Krisis kompetensi pekerja lokal yang melanda KDT berpotensi memperluas celah pekerja migran antarpropinsi. Kita setuju penguatan SDM di KDT harus terus dioptimalkan. Namun, penguatan ketenagakerjaan mesti terukur dan seimbang. Tentu saja mesti ada keseimbangan antara kemajuan dan kesatuan ekonomi regional.
Pada hakikatnya suku Batak terbuka untuk bekerjasama, terbuka terhadap siapa saja tanpa memandang suku, etnik, dan agama. Begitu pula dalam konteks penguatan ketenakerjaan di KDT, kita tidak boleh memandang orang lain, siapa pun dia, dengan apriori, dengan prasangka buruk dan terperangkap menjadi egosentrisme dan etnosentrisme. Dengan demikian, pada masa ini KDT dapat disebut tengah berada dalam tahap eksplorasi dari berbagai segi, yakni ada kecenderungan terbuka kepada orang lain (accept each other) ataupun kemampuan kognitif (depth knowledge) untuk mempelajari hal- hal yang baru.
Seharusnya tenaga kerja pendatang atau asing bisa mendorong tenaga kerja lokal untuk membuka wawasan dan mengubah pola pikir dan berinteraksi karena keberagaman dalam kehidupan sudah menjadi keniscayaan umat manusia dan alam semesta. Terobosan keseimbangan atau “equilibrium strategic” dalam menyatukan pandangan dan kepentingan semua pemangku kepentingan sehingga bisa melahirkan keseimbangan baru diantara 7 (tujuh) Pemkab di KDT. Karena, apa pun kebijakan pemerintah, kehidupan masyarakat, dan sektor-sektor ekonomi akan terdampak pada skala yang beragam, plus- minus nya.
Budaya Batak “Si dapot solup do na ro” yang artinya, pendatang harus menyesuaikan diri dengan aturan setempat, layak menjadi acuan dalam proporsionalitas dan pemberdayaan sembari saling berinteraksi secara harmonis dalam satu sistem yang utuh.
Yang menggembirakan adat Batak dan agama punya modal sosial untuk menjadi pembawa terang dalam kegelapan dan kesesatan berpikir melalui penggunaan akal budi manusia. Suku Batak mempunyai satu budaya Batak yang sering disebut” Adat Batak”. Adat Bataklah yang mengatur keseluruhan sistem gagasan dan tindakan, moral dan kebiasaan hidup, hukum dan seni termasuk kepercayaan. Adat Batak ini kalau kita perhatikan dengan seksama sangat luar biasa, baik bahasa, aksara, dan azas Dalihan Na Tolu, itu semua hasil pemikiran, pemahaman, kepercayaan yang masih relevan hingga sekarang.
Untuk memelihara kehidupan masyarakat yang rukun, aman, tenteram damai, dan sejahtera pemuka adat dan agama dapat berperan menjadi aktor perekat yang berakar pada nilai-nilai luhur budaya dan agama. Dalam konteks kemajuan di masa depan, dibutuhkan perubahan yang bersifat inovatif, adaptif, dan transformatif yang mampu merangkul banyak orang untuk maju bersama.
Pendatang tidak melulu harus berpendidikan tinggi seperti insinyur, pengacara, dan dokter, tetapi juga profesi petani, pekerjaan pelaku industri konstruksi dan jasa serta merta dibutuhkan. Dengan kolaborasi pendatang dengan tenaga kerja lokal, tak pelak akan memunculkan produktivitas yang tinggi dan tetap dalam persaingan yang sehat, profesional, dan proporsional.
Selanjutnya, Pemerintah Daerah (Pemda) bisa memberi aksi nyata (action plan) membuat strategi bisnis yang lebih lincah dalam mendorong pelaku usaha atau kelompok usaha dalam mempermudah akes permodalan melalui perbankan untuk menyejahterakan masyarakat KDT lebih berkualitas. Komunitas pelaku UMKM perlu menjawab tantangan untuk penggabungan proses akses perbankan dan melek layanan digital dalam memasarkan produk UMKM. Masalah-masalah itu harus diselesaikan dengan teknologi digital untuk memastikan kepercayaan publik dalam memasarkan hasil produksinya. (Jakarta, 20 Desember 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S