BatakIndonesia.com — Webinar Marnonang Diaspsora, dipandu Ir. Haposan Situmorang. Pengantar Prof Bostang Radjagukguk, dari Perth Australia. Narasumber Ir. Monang Naipospos, dari Porsea Toba. Peserta dari berbagai tempat, luar negeri dan dalam negeri. Judul Hukum Warisan Batak Toba: Relevansi dan Prospek Penerapannya di Masa Kini.
Poin yang menarik untuk saya share di ruang konsultasi Hukum Pertanahan kali ini, yaitu subjudul dari makalah beliau Hak Perkampungan. Lengkapnya saya kutipkan di bawah ini:
Huta Namarpatik adalah perkampungan yang dibentuk secara adat dan memiliki aturan-aturan hukum adat yang disepakati bersama.
Sipukka Huta adalah pemeran penting dalam perkampungan itu. Biasanya mereka satu kumpulan marga sama yang mengalir dari kampung induk.
Status kepemiikian huta adalah “warisan” bagi keturunan laki-laki. Namun dalam huta bisa saja boru bermukim dan juga pendatang (paisolat), tetapi hanya sebatas tinggal dan diberikan kesempatan membuat rumah (non rumah adat).
Mereka tidak memiliki hak waris tanah. Apabila mereka kelak meninggalkan kampung itu, maka tanah akan tinggal, dalam arti tidak ada haknya memberikan kepada pihak lain dan itu akan menjadi bagian dari huta.
Ini tidak sebatas perkampungan mukim (parik) namun berlaku untuk semua wilayah teritorial huta itu.
Mengingat saya (RP) mengabdi di ASN Agraria dan Tataruang/BPN hampir 36 tahun, memahami isi penyampaian narasumber dan mengambil waktu pertama untuk memberikan pandangan yang sifatnya melengkapi materi dari sisi praktis, agar diskusi secara menyeluruh menarik dan berguna bagi peserta 76 orang itu.
Moderator menyampaikan kekhawatiran adanya isu perantau galau kalau harta warisannya akan hilang sebagai bagian kepemilikannya.
Saya jawab, perantau tidak usah ragu atau ketakutan kehilangan harta warisnya hanya karena meninggalkan tanah warisan dalam kurun waktu lama. Jika ada pejabat yang mengatakan bahwa perantau kehilangan kesempatan mensertifikatkan tanah warisnya adalah tidak benar.
Ketentuan Absentee, kepemilikan di luar kecamatan terlarang bagi kepemilikan tanah pertanian, bukan tanah
perkotaan. Itupun jika ada transaksi jual beli di PPAT.
Begitu juga kepemilikan Tanah Negara untuk pertanian.
Bahwa ketentuan absentee, tidak berlaku kepada tanah Milik Adat, sebagai warisan. Tanah Milik Adat, dikonversi dengan Hak Milik sesuai UU No. 5 Tahun 1960 Jo. PMPA No.2 Tahun 1962 Jis PP 24 Tahun 1979.
Sifat Hak Milik adalah hak milik yang terkuat dan terpenuh dengan waktu selama-lamanya dapat dialihkan dengan jual beli dan atau diwariskan kepada ahliwarisnya, anak, cucu maupun cicit di masa mendatang.
Sedangkan tanah di lingkungan Tataruang Pemukiman, tidak dibatasi absentee, artinya siapapun asal Warga Negara Indonesia boleh memiliki Hak Milik atas sebidang tanah. Karena itu, orang Batak boleh memiliki Hak Milik di Kota-kota seluruh Indonesia, dan sebaliknya orang luar bisa memiliki tanah di Bonapasogit. Ini manifestasi tanah
sebagai rajut kesatuan bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kembali ke poin Hak Perkampungan. Setiap kampung, memiliki sejarah sendiri-sendiri, kapan dibuka dan
siapa yang membuka huta. Begitupun wilayahnya memiliki garis deliniasi yang dikenal menjadi batas administrasi Desa saat ini.
Ada pergeseran dengan adanya kebijakan pemekaran atau
penggabungan beberapa kampung menjadi desa. Jika ada regrouping beberapa kampung (menjadi Dusun), namun sejarah peta “tidak akan berubah”.
Kita bisa telusuri dan sejarahnya pun tidak ada yang bisa mengubah siapa pembuka huta dan teritorial pun tidak ada
yang bisa mengubahnya. Fixed.
Terjadi pemekaran pun, sejarah itu tidak boleh dipecah, dikeping atau dihilangkan sekalipun masuk ke wilayah baru atau bahkanke Kabupaten yang baru.
Muncul konsep Raja Huta, Pauseang, dan Pendatang atau Paisolat. Apa pengertiannya?
Monang Naipospos menulis bila dalam wilayah teritorial huta ada hak kepemilikan sawah yang berasal dari
pauseang untuk boru maka boleh menguasainya dalam kampung itu, walaupun dia sudah tinggal di kampung suaminya.
Dia juga bisa mengalihkan pauseang itu di kampungnya sendiri dengan meminta bagian senilai harga sawah itu dari orangtuanya. Si pemilik pauseang itu tidak bisa menjual sawah itu kepada pihak lain tanpa persetujuan orangtuanya atau kerabat terdekatnya.
Menurut saya, RP, Pauseang diterima oleh boru sebagai bentuk kasih sayang orangtuanya kepada boru (perempuan) yang tidak dianggap sebagai penerima warisan di kalangan bangso Batak secara adat.
Istilah di Tapanuli Selatan disebut Indahan nasora buruk.
Pelaksanaannya saat nikah atau sebelumnya dan tidak memerlukan persetujuan anak-anaknya. Semacam hak prerogatif orangtua.
Sifatnya sangat pribadi, banyak kenangan yang khas, individual antara orangtua dengan si boru saat masa lalu baik suka maupun sulit. Si borulah yang pasang badan sehari-hari membantu orangtua atau alasan lain, dan hanya orangtualah yang tahu.
Anak-anak di kemudian hari, tidak dapat menggugat perbuatan hukum yang dilakukan oleh orangtuanya.
Bagaimana legal standing dari Hak Perkampungan dan sejauh mana peran Bius atau tua-tua Desa? Di Tapsel disebut Hatobangon ini Huta.
Monang Naipospos menjawab bahwa tidak ada legal adminstrasi kepemiikan Hak Perkampungan. Kepemilikan ahliwaris adalah sah secara hukum adat.
Mendukung kepemilikan ahliwaris ini dapat saja
diperkuat oleh pengakuan desa tetangga, atau tuatua desa. Tapi ini sifatnya memperkuat saja.
Penjelasan ini cukup memadai karena pada dasarnya hukum adat itu tidak tertulis. Apabila diperlukan persyaratan administrasi untuk kepentingan tertentu maka Kepala Desa sebagai pejabat di Desa yang memilki tugas pemerintahan dapat menerbitkan surat keterangan desa.
Isinya membenarkan bahwa tanah 500 Ha (misalnya) adalah tanah Kampung milik orang bernama pamukka
huta lengkap dengan marganya.
Permasalahan yang muncul kemudian dalam Hak Milik Huta adalah hadirnya penduduk yang baru, selain boru. Itulah yang dinamakan “paisolat”. Keluarga paisolat pun diterima tinggal di satu huta.
Nampaknya nilai-nilai persaudaraan sesama manusia atau orang batak dijunjung tinggi sebagai Raja Huta. Hanya status kepemilikan mereka seperti penjelasan di atas, boleh memakai tanah untuk tempat tinggal maupun untuk perladangan atau sawah. Hanya memakai saja, tidak memiliki.
Bila meninggal masyarakat paisolat, dapat dibuat kuburan
di tanahnya.
Catatan penutup, kontekstual masa kini, banyak kondisi yang kita catat perkembangan sebuah kampung. Seiring kesadaran hukum Nasional yang memberikan peluang kepada seluruh Warga Negara Indonesia memiliki sebidang tanah di manapun wilayah NKRI.
Kesadaran ini nampaknya mereduksi pemahaman Hak Huta ini. Namun demikian, sepanjang Raja Huta atau turunannya tetap memegang Hukum Adat Kampung, serta UUPA pasal 3 mengakui Tanah Milik Adat, maka solusi agar kedua kepentingan terpenuhi, yaitu: hak hidup atas tanah maka diperlukan wisdom Raja huta untuk melepaskan baik dengan gantirugi, atau tanpa gantirugi kepada pendatang agar dapat memperoleh peluang memohon Hak Atas
Tanah di BPN RI menjadi Hak Milik.
Jika ini dilakukan maka tidak ada konflik lagi antara Hukum Adat dengan Hukum Nasional.
Pertanyaan yang muncul di akhir Webinar adalah adanya overlap antara Hak Milik Kampung dengan Penetapan Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan.
Ini diperparah lagi bila Kementerian Kehutanan memberikan konsesi kepada badan Hukum, misal TPL dan
BPODT. Terjadilah konflik pertanahan yang berkepanjangan, konflik kepentingan hidup dan kehidupan akan terganggu dan memerlukan penyelesaian yang butuh waktu panjang. Namun jika ini terjadi maka ketentraman masyarakat dan Raja Huta terganggu. Sebab, kedua
pihak atau ketiga pihak yang berkonflik memiliki tujuan pemanfaatan tanah yang berbeda dan bukti kepemilikan tanah yang berbeda pula.
Topik lain ini kita bahas pada kesempatan yang lain.
Penulis: Ronsen Pasaribu (RP)