
Oleh: Drs. Tumpal Siagian *)
OPINI
Krisis air tidak hanya dialami orang sekarang, namun sudah sejak dulu kala. Ribuan tahun silam bangsa Israel sudah mengalaminya.
Dalam Kitab Bilangan 20: 1-23, Musa dan Harun gegara krisis air di padang gurun akhirnya mendapat hukuman tidak sempat melihat dan memasuki Tanah Perjanjian. Tuhan sudah mengambil nyawanya lebih dulu, sebab Musa dan Harun telah melanggar perintah Tuhan di Meriba. Ketika itu, umat Israel kehabisan air minum. Umat Israel merasa kecewa, kesal dan marah kepada Musa dan Harun. Dan, Musa dan Harun pun ikut bersungut- sungut dan marah kepada Tuhan.
Elegi nestapa krisis air dalam bentuk dan modifikasinya ternyata terus melanda di segala abad di belahan dunia dari Meriba hingga Adonara. Elegi atau ratapan perkabungan muncul pada Minggu (4/4/2021) bencana siklon tropis Seroja mengakibatkan hujan ekstrem hingga banjir bandang dan tanah longsor di sejumlah wilayah pesisir Adonara di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bima di Nusa Tenggara Barat ( NTB). Adonara, pulau di ujung Timur Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terparah. Pulau seluas 509 kilometer persegi itu terdiri dari pesona pantai, lekukan perbukitan ambruk diterjang badai siklon tropis Seroja. Larantuka, Alor, Lembata juga ikut terdampak.
Beberapa hal yang sangat menggangu batin ditengarai banjir bandang di Adonara NTT, diduga terjadi, salah satu penyebab bencana akibat kerusakan hutan di wilayah hulu. Sedangkan kawasan hulu bagian Selatan Kabupaten Bima, NTB juga telah beralih fungsi dari hutan menjadi ladang jagung.
Ternyata, ada sekitar 30 desa di 18 Kabupaten/ kota yang terdampak siklon Seroja di NTT terisolasi. Banyak akses jalur darat terputus akibat banjir dan longsor serta sungai- sungai meluap. Beberapa titik jalan Trans Adonara berubah menjadi aliran sungai setelah kerusakan jembatan Waiburak ambruk, sehingga tidak bisa dilalui mobil. Banjir bandang dan tanah lonsor menutupi pemukiman, ratusan rumah rusak. Mereka pun mengungsi, dan korban jiwa tak terelakkan. Ratusan orang meninggal dan puluhan korban hilang. Ribuan hektar sawah di NTT terancam puso.
Mata publik kini tertuju ke Adonara, NTT. Adonara yang selama ini lebih banyak dikisahkan sebagai daerah kering dan kekurangan air, tiba-tiba diguyur air melimpah yang disebut banjir bandang. Sekarang penduduk mengalami krisis air bersih untuk diminum. Bisa dibayangkan, bagaimana nestapa mereka mengalami krisis air ditengah banjir bandang yang melanda.
Kala Adonara berduka, kita dapat berkontemplasi atau refleksi diri. Dari air, kita tidak hanya belajar soal kebutuhan dasar, tetapi juga belajar mengakrabi suara alam dan nilai- nilai agama.
Allah sudah memberkati manusia dan memberikan semua isi dunia ke dalam kekuasaannya, namun manusia menolak dan tidak menurut kepada Tuhan. Ada beberapa kutipan Alkitab yang bisa dicatat bahwa sesungguhnya pada mulanya semuanya sudah terencana dengan baik.
Di awal sejarah manusia di Taman Eden (Kejadian 2:10-15). Ada sungai yang mengalir dari Eden untuk membasahi taman itu, yakni, Hawila, Gihon, Tigris, dan Efrat. Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
Sebagai kebutuhan dasar, air dan sungai begitu dekat dengan kehidupan manusia. “Sebab TUHAN, Allahmu, membawa engkau masuk ke dalam negeri yang baik, suatu negeri dengan sungai, mata air dan danau yang keluar dari lembah- lembah dan gunung- gunung” (Ulangan 8:7). Seruan Nabi Yesaya memberi semangat dengan menggunakan metafora air, “Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan” ( Yesaya 12:3).
Menjaga Tata Kelola Air
Siapakah yang membuat bumi Indonesia sedemikian baik, selain Allah pencipta langit bumi yang kita sembah? Sungguh, kita patut bersyukur kepada Allah yang menyejahterakan umatNya. Sejalan dengan itu, kita patut bersyukur di Indonesia dalam konstitusi UUD 45 Pasal 33, mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Meskipun dalam kenyataannya malah sebagian rakyat ikut mengeksploitasi dan mencemarinya, diiringi kecemasan potensi bencana.
Limbah rumah tangga dan industri membuat sungai jadi saluran limbah dan sampah.Tak heran jika sungai Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai paling kotor dan tercemar di dunia. Dan, jika mau jujur, sebenarnya air Danau Toba pun demikian belum terkelola dengan baik, tercemar akibat keramba jaring apung (KJA) dan sampah.Berbagai masalah mendera negeri ini karena daya dukung lingkungan melemah akibat eksploitasi berlebihan. Banjir, penurunan muka tanah seiring naiknya muka air laut, polusi udara dan bencana lain mengikutinya yakni krisis air.
Krisis air mengingatkan kita tentang hukum keseimbangan. Manakala debit air berjalan timpang, air yang tidak menemukan saluran, lama- lama akan meninggi membuat air perlu dibendung dalam waduk (dam). Waduk berfungsi mengatur berbagi dalam distribusi air secara proporsional. Hal ini sudah dilakukan sejak masa kolonial Belanda menguasai negeri ini sudah ada Kantor Ledeng, perusahaan air minum (watertoren en gemeentehuis) yang memungkinkan tata kelola serta infrastruktur air terakselerasi.
Tak sebatas pengadaan air minum tapi air dikelola dengan baik, lahan dapat dipadukan dengan potensi air (sungai dan irigasi); sehingga lahan bisa menjadi lumbung produk pertanian, perkebunan dan peternakan.
Tetapi kalau tidak dikelola dengan baik karena ketidak siapan menerima pandangan para pakar serta kaidah yang sahih, terjadilah apa yang dilukiskan Sungai Citarum dan Danau Toba diatas, yang sebetulnya juga melanda daerah-daerah lain di seantero negeri.
Tata kelola air berhadapan dengan kebencanaan, seperti banjir, pasokan air bersih, masalah lingkungan seperti pemanasan global, polusi, perubahan iklim, dan gempa bumi. Konsep tata kelola air seyogianya mencerdaskan dan untuk menyejahterakan penduduk dari kota sampai ke desa. Pembenahan menyeluruh dari pengadaan air bersih hingga irigasi persawahan sehingga membawa sukacita dan pengharapan baru semua pihak diharapkan bakal terwujud.
Bersamaan dengan harapan baru, terbit kecemasan. Karena itu, kita harus bersungguh- sungguh mempersiapkan diri menghadapi bencana bibit badai tropis seroja, mengingat hamparan lautan Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu 95.181 kilometer. Sebagian bencana bisa diakibatkan bencana hidrometeorologi basah, seperti intensitas hujan, tanah longsor, dan luting- beliung.
Sementara sebagian lagi diakibatkan hidrometeorologi kering yang disebabkan kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan. Kita harus mampu menjawab permasalahan itu untuk membawa cara pandang kehidupan baru secara sosial, ekonomi, dan pembangunan lingkungan berkelanjutan(suistainable); yang akan bermuara pada tercapainya tujuan bersama harmoni semesta dalam menjaga kehidupan.
Demikian juga dengan Konservasi sungai dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kita tahu, dalam suatu wilayah DAS, perhitungan kecukupan luas hutan dan tutupan hutan (konservasi & lindung) untuk keseimbangan hidrologis harus dihitung dari batas DAS, yakni punggung bukit/ gunung di peta topografi. Pendekatan kawasan dan pemetaan lokal diperlukan agar kelestarian lingkungan bisa dioptimalkan. Ini dapat pula dipergunakan sebagai acuan pembuatan jalan raya, seperti akses jalan tol di Sumatera dan di pulau Jawa.
Krisis iklim
Menguatnya siklon dan ekstremitas cuaca merupakan konsekwensi perubahan iklim yang semakin nyata. Perubahan itu, diantaranya, meningkatnya suhu global 00, 8 derajat celcius per- dekade dan kenaikan muka air laut 4,4 mm per- tahun. Peningkatan suhu telah mendekatkan kita pada titik kritis bumi, yaitu nilai ambang batas ekologi, teknis, dan ekonomi yang dapat diterima secara sosial. Begitu ambang batas titik kritis itu terlampaui, daya dukung Bumi untuk menyangga makin melemah.
Perubahan itu memicu banyak hal dari produktivas pertanian global, perikanan, dan kerusakan lingkungan hidup menjadi tantangan atau ancaman ke depan. Hal ini menegaskan kepada kita, meningkatnya bencana bibit siklon tropis seroja ditengarai disebabkan perusakan iklim atau krisis iklim. Karena itu, perlu segera mengendalikan perubahan iklim dalam hal mitigasi dampaknya ataupun adaptasi.
Mitigasi yang bisa dilakukan diantaranya mencegah lebih lanjut kerusakan lingkungan dengan menekan seminimal mungkin emisi karbon. Sementara adaptasi menuntut kita menyesuaikan dengan perubahan lingkungan sebab perusakan yang terlanjur terjadi, termasuk dengan potensi semakin banyaknya hujan ekstrem. Melihat fakta ini, perlu langkah antisipasi.
Satu hal yang perlu digaris bawahi saat ini dalam mengatasi krisis iklim negara harus mengarahkan perhatian kepada para pelaku perusak ekosistem yang berada pada level elite, entah itu parpol, pengusaha atau masyarakat tertentu yang terpolitisasi.
Harmoni semesta akan tercipta ketika manusia mampu membebaskan diri dari kelekatan duniawi. Kelekatan duniawi yang dimaksud adalah kepentingan diri sendiri/ kelompok(egoisme), kekuasaan dan nafsu keserakahan. Nah, kita sekarang diberi kesempatan melatih diri untuk mendaki dari ruang kelekatan duniawi mendaki ke ruang spritual.
Kemampuan adaptif, kolaboratif, orkestrasi ekosistem menjadi kian penting dalam mengantisipasi perubahan krisis iklim.Kita perlu memperbarui rencana tata ruang dengan memperbesar kapasitas prasarana dan sarana penanggulangan bencana. Di lain pihak, mungkin krisis iklim ini ingin memberikan waktu bagi bumi untuk beristirahat sejenak dari polusi dan kelalaian manusia menjaga lingkungan dari kerusakan keseimbangan alam. Jakarta, 21 April 2021.
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S