BatakIndonesia.com — Masyarakat kelas bawah seringkali menjadi korban kriminalisasi, terutama dalam kasus-kasus konflik tanah di Kawasan Danau Toba (KDT). Demikian ungkap Deka Saputra Saragih, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum dan Agraria YPDT dalam Diskusi Kamisan (3/11/2022) di Jakarta.
Terhadap masalah pertanahan di KDT ini, Deka menyatakan bahwa masyarakat kesulitan menunjukkan bukti kepemilikan tanahnya. Mungkin saja tanahnya itu sudah dikuasai oleh kelompok atau individu tertentu tanpa sepengetahuannya. Menurut Deka, ini kemungkinan adanya permainan dari sekelompok orang, apakah elit pejabat, pengusaha, dan lain-lainnya yang secara sepihak menguasai tanah dengan cara yang tidak diperkenankan berdasarkan UU.
Penguasaan tanah itu sendiri dapat kita lihat secara fisik maupun yuridis. Penguasaan tanah di Indonesia ini memang tidak lepas dari masalah antara kelas atas, menengah, dan bawah. Yang seringkali menjadi korban adalah masyarakat yang berada di kelas bawah.
Masyarakat kelas bawah artinya bukan sekadar mereka yang berekonomi rendah, tetapi juga mereka yang tidak memiliki akses dan jaringan kuat di pemerintahan. Karena itu, ketika terjadi konflik tanah, masyarakat kelas bawah tersebut seringkali menjadi korban bahkan menjadi sasaran kriminalisasi.
Selanjutnya Deka melihat bahwa pemerintah lemah memberikan perlindungan dan advokasi kepada masyarakat kelas bawah tersebut ketika mengalami konflik tanah tersebut. Bahkan ketika masyarakat tersebut mengadukan kasusnya kepada pemerintah melalui Kementerian terkait, BPN, Kepolisian, Komnas HAM, hingga ke pengadilan, tetap saja masyarakat kelas bawah tadi menjadi korban.
Lebih tegas lagi, Deka mengatakan bahwa pemerintah dengan sikapnya yang ambivalen terhadap kasus penguasaan tanah dapat memperuncing konflik horisontal di lapangan. Keadaan seperti ini makin membuat pemerintah makin tidak berdaya memberi perlindungan kepada para korban, yang notabene adalah rakyatnya sendiri.
Belum lagi ada kecenderungan masyarakat atas (elit) sudah bersekongkol dengan oknum-oknum pejabat tertentu, sehingga mereka berlindung di “ketiak” aparat dan penegak hukum yang dapat mereka beli. “Ketika masyarakat kelas bawah berjuang mati-matian melindungi tanah peninggalan nenek-moyang mereka, para elit ini seringkali menakut-nakuti mereka dengan pasal-pasal tertentu, misalnya Pasal 167 dan 385 KUHP,” ujar Deka.
Selain itu, Deka menambahkan bahwa sistem hukum di negeri ini cukup berbelit-belit dan cenderung dikuasai oknum tertentu serta ongkosnya yang begitu mahal untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat kelas bawah. (DanS)