
Oleh: Drs. Tumpal Siagian *)
Oleh: Drs. Tumpal Siagian *)
OPINI
Lebih 70 tahun yang lalu seniman besar Nahum Situmorang dengan bangganya mendendangkan lagu gubahannya “O Tao Toba Nauli” tentang ketakjubannya terhadap alam Danau Toba. Lirik lagu ini sarat pesan untuk bersikap mencintai lingkungan yang berdampak pada pemberdayaan masyarakat, mulai dari sungai, hutan dan lembah, sabana yang semarak dengan berbagai flora dan fauna.
Namun, belakangan ini banyak pihak mempertanyakan kesejatiannya, bahkan predikat Geopark Toba yang disematkan UNESCO 7 Juli 2020, sangat mungkin terbuka bisa dicabut kembali. Lalu apa yang menjadi persoalan?
Harus diakui, kini Geopark Toba mengalami perapuhan nilai-nilai ekosistem, bersamaan ditetapkannya Danau Toba sebagai destinasi wisata superprioritas. Pengembangan wisata ini diklaim warga terbatas dan tetap mengedepankan aspek konservasi dan pembangunan ramah lingkungan. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen tersebut. Mari kita flashback sejenak. Di awal penciptaan Lagu “O Tao Toba Nauli” terlihat hubungan yang sangat karib terjalin antara manusia dengan alam.

Tetapi hari ini lagu “O Tao Toba Nauli” jika diperdengarkan tidak lagi sebatas produk seni musik semata, tetapi sudah menjadi katalisator mimpi masyarakat Kawasan Danau Toba (KDT) tentang “keseimbangan baru” dalam perspektif kawasan yang indah dan lestari. Sekaligus yang mampu mengendalikan penurunan emisi karbon terintegrasi dengan kebersihan lingkungan dan pengelolaan sampah.
Secara sederhana “keseimbangan baru” itu didefenisikan “bahwa Geopark atau Taman Bumi, tidak hanya baik secara ekologi, tetapi juga bermanfaat ekonomi hingga kesehatan untuk warga. Kita menjadi concern dengan public health yang menjadi isu penting terutama di masa pandemi. Dituntut tanggung jawab etis dan moral, kebijakan yang terukur, komitmen yang yang kuat dan menghidupkan harapan yang pada akhirnya bermuara kepada “Back to Nature”. Kita kembali ke alam dalam penataan ruang meliputi zona konservasi, flora dan fauna, zona food estate, zona pariwisata, dan zona rohani atau religi.
Memahami ekosistem Geopark dengan infrastrukur dan kecanggihan teknologi modern jangan sampai mengikis kesejatian Geopark Toba. Sehingga “ketidakseimbangan” dengan alam muncul serta persekutuan karib dengan semesta terpinggirkan. Karena itu, perlu jangkar yang kredibel untuk mengatasi “ketidakseimbangan” ini yang pada hakekatnya menuntut pola pikir rasionalitas melampaui akal budi yang berkembang yang berpegang pada kiprah mengurangi emisi karbon secara utuh dan gamblang serta terhindar dari godaan keuntungan ekonomi/ bisnis semata.
Ekosistem Geopark Toba saling mendukung melalui pendekatan “positive sum game” (semua diuntungkan), bukan “zero sum game” (ada yang dikorbankan). Isue serius ini sudah sewajarnya disikapi melihat itu semua dari berbagai dimensi, dimaknai dari visi holistik yang bermanfaat bagi generasi kini dan mendatang.
Kita harus belajar dari problem klasik pembebasan lahan di seputar Kawasan Danau Toba (KDT) yang selama ini berada di ruang usaha dalam zona pembangunan wahana dan sarana pendukung destinasi wisata superioritas yang tidak memperhatikan kaidah visi dan perspektif Geoprak. Hal itu menyisakan sengketa/ konflik lahan yang ditengarai merugikan masyarakat.
Situasi ini diperburuk lagi dengan tidak adanya aturan yang jelas tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW). Implementasi regulasi RTRW harus mengambil langkah strategis untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Pemahaman semua pihak tentang regulasi belum sepenuhnya merata di lapangan, karena kurang adanya sosialisasi serta evaluasi. Penilaian atau “evaluate” adalah jenjang tertinggi, sedangkan “intelectual thinking” atau cara berpikir intelektual, dari understanding analisis, aplikasi, sintesis dan terakhir evaluasi.
Pada akhirnya, visi dan perspektif Geopark Toba mesti memberi nilai-nilai yang sangat penting bagi kemanusiaan, peradaban, dan adaptasi perubahan iklim. Oleh karena itu, Pemerintah harus membangun persepsi bersama, bahwa perubahan iklim ialah kerisauan bersama yang harus dimitigasi bersama-sama karena dampaknya tak mengenal batas administrasi teritorial.
Upaya membuat keseimbangan ekologi, pemberdayaan warga, dan pembangunan berkelanjutan merupakan langkah strategis benang merah kebijakan terobosan Pemerintah dalam keseimbangan baru Geopark Toba. Ajakan bersama agar Danau Toba kembali bersih dari keramba jaring apung, sejuk, mengurangi polusi udara dan polusi sampah plastik hingga bersih dari pencemaran lingkungan.
Bencana Longsor
Pemberdayaan masyarakat meliputi persoalan zona industri yang harus dipenuhi dalam RTRW dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) seyogianya saling terhubung. Tapi nampaknya ada “pertempuran” tak seimbang antara pengusaha/ pemodal yang kurang empati pada suasana kebatinan rakyat sekitar yang dirundung kegelisahan, dengan menyingkirkan mereka ketepian.
Hal itu terlihat, pada saat pengusaha mengajukan perizinan, aroma jual beli perizinan tercium begitu hebat berkelindan kasus suap yang hanya mengulang peristiwa sebelumnya dalam urusan kotak-katik untuk merevisi RTRW, yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan dan menggembosi pelestarian ekosistem Geopark. Barangkali disinilah kecemasan membuncah ketika adanya pembiaran” alih fungsi” berdampak memudarnya harapan rakyat akibat ketidak adilan agraria tersebut. Sudah saatnya kebijakan bukan lagi bertumpu pada pragmatisme semata, tetapi berkomitmen pada penurunan emisi karbon dalam kerangka implementasi ekonomi hijau.
Disisi lain, pembangunan wahana dan sarana pendukung destinasi pariwisata superprioritas memerlukan pengkajian pembangunan tekonologi modern dalam manjemen kawasan. Suatu perspektif pariwisata modern yang terhubung dengan kearifan lokal, menjalin relasi yang dekat dengan alam. Merasa, mendengarkan suasana batin, bisikan halus dari alam yang ingin dimengerti dan dijaga, menawarkan serunya hidup setia bersama alam.
Investasi berorientasi pemberdayaan masyarakat sekitar KDT, sungguh lebih memberikan efek ganda (multiplier effect) jika investasi itu meningkatkan serapan dan keterampilan tenaga kerja lokal, serta transfer teknologi dan ramah lingkungan. Kendati begitu, KDT tidak boleh tenggelam dalam euforia investasi besar-besaran menunjang destinasi pariwisata superprioritas, tanpa mengendalikan kandungan dan emisi karbon seirama visi dan perspektif Geopark Toba. Pembangunan KDT yang direncanakan menjadi ladang investasi besar-besaran ini seperti pembangunan Bandara Sibisa, hotel ruang komersial, apartment premium, bangunan cafe dan kuliner menyebabkan penyusutan lahan hutan (deforestasi), baik legal maupun ilegal dan alih fungsi areal persawahan menjadi industri atau ruang komersial akan melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat tinggi atau berkontribusi pada kenaikan suhu bumi.
Ketidakseimbangan ekologis mempercepat pemanasan global diikuti perubahan iklim kian nyata, dimana banjir dan longsor bertambah parah, berkelindan dengan pembangunan investasi boros karbon di sekitar KDT tersebut. Tidak terkendalinya lahan hijau disekitar KDT menyisakan sedikit lahan hijau, dengan tutupan vegetasi pohon untuk menahan air pada musim hujan ditengarai biang keladi terjadinya bencana tanah longsor yang melanda.
Bencana longsor merupakan bencana yang paling sering terjadi lima tahun belakangan ini. Selain itu, angin kencang dan banjir. Kondisi geografis dan topografi lahan yang labil membuat daerah seputar KDT rentan longsor dan pergerakan tanah. Terlebih tipe batuan penyusun tanahnya didominasi oleh letusan Gunung Toba yang relatif rawan terlepas terhadap gerakan tanahnya jika diterpa hujan yang deras.
Tingkat kerawanan terlihat dari beberapa kali jalan Parapat- Pematang Siantar terputus. Bencana tanah longsor terjadi berulang kali di desa Sibaganding, Kecamatan Girsabg, Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, sekitar 1 kilometer dari Parapat. Padahal, jalan nasional tersebut merupakan satu-satunya akses transportasi darat menuju Parapat Danau Toba. Bencana itu hendaknya menjadi alarm untuk mempercepat mitigasi bencana, melindungi warga juga kelestarian alam. Sayangnya, tidak begitu banyak “lesson learned” dipetik dari bencana tanah longsor tersebut.
Skenario dan Komitmen
Perencanaan tataruang wilayah KDT memberikan gambaran apa yang mungkin terjadi di masa delan berdasarkan pengamatan dan kajian. Ada transportasi danau yang modern seperti KM Ihan Batak, ada Patung Tuhan Yesus Memberkati di Bukit Sibeabea di Kabupaten Samosir, yang terhubung dengan konservasi terjunjung secara integral dalam mengaktualisasikan kaidah ideal Geoprak, antara modernitas dengan orisionalitas dan otentisitas, rentan merusak lingkungan, perlu disikapi dengan sejumlah skenario dan komitmen.
Pertanyaannya, dimanakah keseimbangan baru Geopark diletakkan, jika KDT hanya dijadikan kemasan pariwisata tanpa basis etis lingkungan hidup yang menopangnya? Hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa Geopark Toba adalah kekayaan alam pemberian Tuhan (God Given Wealth). Kearifan lokal yang luhur dipadu dengan karya yang baik dan sebanyak mungkin mengejawahtahkan dalam tindakan kreatif untuk menghentikan tragedi/ petaka yang mengancam.
Bagaimana kita menyelaraskannya, terpulang pada prinsip yang kita anut yaitu, “mempertahankan tradisi lama dan mencoba mengambil banyak hal baru yang lebih baik”, guna membangun keseimbangan baru. Termasuk didalamnya pemberdayaan masyarakat hingga landskap pengembangan destinasi pariwisata superprioritas, menawarkan keragaman budaya, keunikan alam, serta produk kreatifnya dalam mengejar mimpi KDT sebagai kepingan surga. Jakarta, 7 Oktober 2021.
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S