
Oleh: Drs Tumpal Siagian *)
OPINI
Berita baik, ekonomi Indonesia tumbuh positif 7,07 persen pada TW II-2021 berbasis perhitungan perbandingan data secara tahunan (year on year/yoy) dengan TW II-2020 yang minus 5,32 persen. Ekspor menjadi salah satu penopangnya.
Pertumbuhan ekspor tidak terlepas dari sejumlah terobosan Pemerintah di sektor pertanian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menopang mata rantai perdagangan dan konsumsi. Terobosan peningkatan ekspor ini tampak dalam pelepasan ekspor komoditas pertanian sebanyak 627,4 juta ton secara serentak di 17 pelabuhan dan bandara, Sabtu (14/8/2021) dengan nilai ekspor mencapai Rp 7,29 triliun. Komoditas ekspor diantaranya sawit, karet, kopi, sarang burung walet, porang, minyak atsiri, dan rempah.
Sejatinya, Indonesia memiliki beberapa komoditas rempah seperti pala, lada, jahe, kayu manis, vanila, cengkeh, cabai, kunyit, kemiri, dan andaliman. Apa yang menarik dari rempah? Ternyata rempah digunakan dalam berbagai hal mulai dari makanan hingga obat-obatan utamanya di China dan India.
Indonesia adalah eksportir rempah nomor dua terbesar ke India, setelah Vietnam. Total ekspor rempah-rempah ke India mencapai 206.000 ton senilai 724 juta dollar AS tahun 2020. Atau sekitar 15,3 persen dari impor rempah-rempah India. Demikian juga permintaan rempah dalam negeri mengalami kenaikan.
Hal itu dapat dilihat di kawasan pecinan kota- kota di Tanah Air, dimana rempah diolah menjadi makanan olahan seperti mie pada “chinese food”. Masih ada produk lain yang juga melegenda, yakni kecap dan sambal botol. Produk ini mudah ditemui dari pasar tradisional hingga swalayan, dari gerobak bakso pinggir jalan hingga restoran.
Selain itu rempah dapat ditemukan diberbagai pusat perniagaan/ pertokoan obat-obatan. Segala macam obat dari sakit kepala hingga diabetes melitus tersedia.
Maka, tak heran ketika gelombang pandemi Covid-19 menerjang, permintaan akan rempah-rempah melonjak tajam, dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah perusahaan farmasi asing memburu rempah Indonesia karena munculnya kesadaran gaya hidup sehat. Masyarakat di negara maju cenderung menggeser pola konsumsinya, yakni dari pangan yang mengandung karbohidrat menjadi sayur, buah dan daging.
Oleh karena itu, peran rempah untuk meningkatkan kandungan gizi pada daging atau biofortifikasi pada sayuran semakin diperlukan. Menjadi ironi, di saat permintaan dunia akan komoditas rempah meningkat, pada saat yang sama, petani tidak cukup untuk bertahan hidup.
Jejak Panjang Rempah
Jejak panjang rempah sejak zaman kerajaan Nusantara, sejarah mencatat perdagangan rempah pada abad ke-16 zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dan kian mekar di era kolonialisme. Bumi Nusantara merupakan identitas, sumber penghidupan petani rempah, dan perdagangan rempah adalah aktivitas nyata di masa lampau.
Kapal-kapal pedagang asing, seperti Inggris, Spanyol, Portugis, Amerika Serikat, dan Belanda kerap bersandar di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Merekonstruksi jalur perdagangan rempah di Nusantara pada masa itu, ada di 20 titik, mulai dari Aceh hingga Papua. Aceh misalnya pada awal abad ke-16 pada zaman Kesultanan Pasai yang kaya dengan lada, sudah mengekspor lada Kesultanan ini mencapai 2800 – 3500 ton setahun.
Indonesia menjadi perhatian dunia sejak lama karena kekayaan rempah dalam negeri menduniakan masakan Nusantara. Setidaknya beragam masakan berangkat dari empat bumbu utama segar yaitu, bawang (merah & putih), cabe, kemiri, dan kunyit dan tiga bumbu padat yaitu cengkeh, pala, dan kayu manis.
Beragam aneka rasa itu terjalin dari Aceh hingga Papua, terajut dalam perjumpaan budaya bangsa yang kaya etnis China, India, dan Arab berproses menjadi kudapan Nusantara atau Indonesia.
Peluang dan Tantangan
Jika pada masa lalu rempah Indonesia terkenal di panggung dunia, kini butuh kerja keras untuk mengembalikan identitas kekayaan rempah kita dengan harga dan kualitas yang kompetitif, dengan ekosistem usaha tertata dari hulu hingga hilir.
Kita lambat melakukan riset, mulai dari budidaya hingga terobosan transformatif dari tiga parameter yaitu: perlindungan, pemberdayaan, dan keberpihakan untuk menunjang kekayaan rempah di negeri kita ini. Mengembangkan hal-hal baik terutama mengubah ke arah kemungkinan-kemungkinan baru seperti inovasi berada di garis itu.
Contoh, produk kunyit yang cenderung hanya komoditas ekspor berbahan mentah, jika mendapat polesan riset bisa menjadi obat herbal terstandar (OHT) berbasis ilmu pengerltahuan dan teknologi yang memiliki nilai tambah. Kita juga mengenal beraneka produk jamu, obat, dan kosmetika tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Di tengah kondisi darurat pandemi di Tanah Air warga petani kita pada hakikatnya berurusan dengan mata pencaharian atau upaya bertahan hidup masyarakat berjuang mencari nafkah. Masalah klasik dan berulang, yakni sulitnya akses permodalan, inovasi teknologi dan pendampingan yang semestinya diberikan kepada petani serta belum optimalnya hilirisasi masih menghantui.
Disamping mendorong volume ekspor dengan meningkatkan produk rempah pada daerah yang kondisi alamnya cocok , terbuka potensi design korporasi petani dalam industri terpadu. Seberapa hebat pun potensi kelompok petani rempah, tidak otomatis mengangkat harkat dan kesejahteraan bersama apabila tidak ada organisasi yang rapi mengelola kekuatan mereka.
Kita tentu berharap tidak selamanya Indonesia menjadi negara yang berkutat hanya sebagai pengekspor komoditas rempah semata. Tetapi harus memiliki visi tentang masa depan yang maju dan sejahtera.
Pengembangan design korporasi petani rempah dalam industri terpadu itu, cita-cita lama yang menggantung. Sejak dulu Pemerintah belum mampu membuka keran investasi industri hilir. Termasuk riset dan inovasi mulai dari riset market, produk yang berkualitas dan problem solving yang mengikutinya.
Peran industri sangat penting dalam pengembangan penelitian yang bertujuan menghasilkan produk berkualitas untuk dipasarkan pada kebutuhan perdagangan dalam pasar global. Fokus Pemerintah adalah bagaimana mendorong industri manufaktur dan mengamankan posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia. Termasuk merekrut sebanyak mungkin talenta unggul yang kita miliki di dalam maupun luar negeri (temasuk pemberdayaan peneliti diaspora Indonesia) untuk memberikan karya terbaik untuk bangsanya.
Mengingat selama ini, sebagian besar komoditas unggulan dipasarkan ke luar negeri masih berbentuk mentah perlu adanya skenario optimistis dan moderat antara bauran populasi dengan cakupan karakter/luasan lahan yang cocok ditanami rempah. Peluang dan tantangan agar Indonesia mampu menjadi pemain utama di rantai pasok rempah adalah dengan membangun ekosistem rempah yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Depeasantization
Membuat pamor produk rempah di sejumlah daerah di Indonesia, yang masuk kategori 3 T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) adalah merupakan pemasok rempah yang terkendala akibat ketidaksetaraan dalam mengakses internet membuat pemasaran secara daring tertinggal. Salah satu kendalanya adalah dalam hal pembangunan menara pemancar sinyal selular (base transceiver station/ BTS). Masih banyak daerah masuk kategori 3 T seperti di Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Papua diketahui penghasil rempah namun terkendala dalam pembangunan BTS karena sulitnya pembebasan lahan.
Padahal, kehadiran jaringan internet turut membantu pemasaran produk sebab text message sudah menjadi moda utama komunikasi yang dapat menjangkau orang tanpa batas dan biayanya pun sangat murah. Jika BTS sudah berdiri dan akses internet semakin mudah, peluang memasarkan produk rempah lokal 3 T akan semakin banyak ditemui berselancar di pasar daring.
Sementara petani yang ada semakin menua, di sisi lain terjadi “depeasantization. Yang dimaksud dengan depeasantization adalah berkurangnya pertanian peasant, yaitu petani atau usaha tani berskala kecil (padat karya) dan digantikan oleh pertanian komersial berskala besar (padat modal). Fenomena ini memang terjadi di seluruh dunia (global deapeasantization), dan hasilnya adalah jumlah unit usaha tani/petani berkurang, tetapi skala atau luasan (hektar tanah) pengusaha tani meningkat.
Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, deapeasantization justru berkonotasi positif karena skala usaha lebih besar; responsif terhadap perkembangan teknologi sehingga produktivitas meningkat, kesejahteraan meningkat, serta semakin menarik bagi orang-orang muda. Sebaliknya di Indonesia deapeasantization membuat petani semakin merana dan semakin gurem karena begitu kuatnya serapan industri dan jasa dalam menampung tenaga kerja sebab pendapatannya yang lebih besar sektor pertanian pun ditinggalkan. Kondisi ini menunjukkan terjadinya aliran tenaga kerja pertanian masuk ke industri.
Karena itu, pemahaman yang utuh atas design pengembangan korporasi petani perlu dibenahi. Dukungan khusus kepada petani saat ini harus diberikan secara komprehensif, mulai dari pendidikan dan latihan, pendanaan, teknologi, infrastruktur, pendampingan hingga penjaminan pasar. (Jakarta, 11 September 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S