BatakIndonesia.com — Selama ini kita lebih mengenal Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan kita. Namun sebelum beliau, ternyata masih ada 2 tokoh pendidikan kita yang terlupakan bangsa ini. Siapakah mereka?
Mereka adalah Sati Nasution (dengan nama lain Willem Iskander) dan Todung Sutan Gunung Mulia Harahap. Sati Nasution sendiri adalah tokoh yang lebih awal merintis pendidikan Sekolah Guru Bumiputera (Kweekschool) pada 1862 di Desa Tanobato, Panyabungan Selatan, Madina. Sementara, Gunung Mulia mengkritik sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif sekaligus memperjuangkan pendidikan untuk semua golongan pribumi.
Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, BATAK CENTER menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) pada Jumat (5/5/2023) di Sekretariat BATAK CENTER, Jakarta. Diskusi ini mengangkat topik: “Pemikiran Sati Nasution (Willem Iskander Nasution) dan Todung Sutan Gunung Mulia Harahap dalam Lintasan Sejarah demi Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.”
Sebagai pemantik diskusi, BATAK CENTER mengundang pembicara antara lain: St Sularto (penulis buku tentang Sati Nasution dengan judul “Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas” dan Imran Hasibuan (penulis buku tentang Gunung Mulia dengan judul “Todoeng Soetan Goenoeng Moelia: Menerangi Indonesia dengan Hati dan Akal Budi”).
Selain itu, hadir juga penanggap diskusi antara lain: Mompang L. Panggabean (Guru Besar Universitas Kristen Indonesia), Johnner Sitompul (Guru Besar Institut Teknologi Bandung), Caramia br. Situmpul (mewakili generasi muda milenial), dan Bomer Pasaribu (penaggap khusus dari BATAK CENTER).
Sati Nasution (Willem Iskander)
Pemantik pertama, St Sularto mengatakan: “Nama dan kiprah Willem Iskander (1840-1876) atau nama kecilnya Sati Nasution, nyaris kita lupakan dalam sejarah pendidikan di Indonesia.” Padahal Sati bisa kita katakan orang kita pertama yang menginspirasi berkembangnya pendidikan bagi bumiputera pada masa kolonial Belanda.
Lembaga yang dia dirikan, Kweekschool (Sekolah Guru) Tanobato (1862-1874) di Panyabungan, Sumatera Utara adalah tempat pembenihan ide kebangsaan, khususnya terkait peran strategis guru. Selain itu, Sati juga adalah pujangga yang menulis puisi dalam bahasa Mandailing dengan ide-ide kemerdekaan.
Sati memang sempat mengenyam pendidikan di Belanda, sehingga memiliki kompetensi untuk menjadi seorang guru. Di negeri bunga tulip itulah, Sari mengubah namanya menjadi Willem Iskander. Walaupun Sati dapat kita katakan sebagai pelopor bumiputera pertama dalam bidang pendidikan di Nusantara, tetapi jejak rekor beliau sangat minim, sehingga beliau nyaris terlupakan.
Kita bersyukur ternyata masih ada orang kita yang memerhatikan betapa pentingnya peran Willem Iskander untuk mencerdaskan bangsanya, khususnya bangso Batak di Maindaling. Orang itu adalah Basyral Hamidy Harahap, peneliti yang pernah mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, sejarawan asli Mandailing Natal (Madina), meninggal 2005. Dialah pembela fanatik ketokohan Willem Iskander. Sejak 1975, dia meneliti dan mengkaji tentang Willem Iskander dan menghasilkan lebih dari 20 buku terkait Willem Iskander.
Rupanya jerih upaya Basyral sang sejarawan ini membuahkan hasil. Terbukti Pemerintah Indonesia melalui Adam Malik sebagai Menlu waktu itu mengapresiasi Willem Iskander. Adam Malik memberikan sambutan dalam acara Memperingati 100 Tahun Willem Iskander, pada 10 Mei 1976 di Jakarta. Beliau menyatakan Willem Iskander bukan tokoh lokal tetapi nasional. Keinginan kemerdekaan bagi Mandailing adalah juga keinginan rakyat jajahan.
Selanjutnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu pada 1978, Daoed Joesoef memberikan penghargaan piagam Hadiah Seni. Daoed Joesoef sampai tiga kali datang ke Panyabungan. Pertama waktu penyerahan piagam Hadiah Seni. Kedua waktu peletakan batu pertama SMAN Willem Iskander di Panyabungan Selatan (bekas petilasan Kweekschool) Tanobato tahun 1981. Ketiga peresmian sekolah tahun 1982. Daoed Joesoef pun diberi gelar Iskandar Muda Nasution.
Mengakhiri paparannya, St Sularto menyampaikan apresiasi kepada BATAK CENTER yang mengangkat diskusi tentang Willem Iskander ini. Hal tersebut tentu memerkaya khazanah pendidikan di Indonesia. “Pendidikan di Indonesia tidak melulu Java centris tetapi juga memiliki semangat Batak centris,” ungkapnya. Mungkin BATAK CENTER dapat berperan penting mengangkat Sati Nasution agar tidak tenggelam oleh zaman.
Todung Sutan Gunung Mulia Harahap
Pemantik kedua, Imran Hasibuan menceritakan singkat tentang Todung Sutan Gunung Mulia Harahap. Maruara Sirait menantangnya untuk menulis riwayat Gunung Mulia. Pada awalnya dia mengalami kesulitan karena sumber tulisan tentang Gunung Mulia sangat minim. Walaupun ada, tetapi sedikit dia peroleh seperti dari Jan S. Aritonang (Guru Besar dan mantan Ketua STT Jakarta), Zakaria Ngelow (penulis buku Kekristenan dan Nasionalisme), dan beberapa penulis lainnya.
Ironisnya ketika Imran meminta data dan bahan tulisan tentang Gunung Mulia pada Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), dan Universitas Kristen Indonesia (UKI), tidak ada satu pun memiliki atau menyimpan data tersebut. Padahal Gunung Mulia memiliki andil sebagai salah satu pendiri keempat lembaga tersebut.
Imran menjelaskan memang benar Gunung Mulia sudah kita lupakan, baik umat Kristen maupun bangso Batak. Syukur akhirnya Imran dapat menjumpai dan mewawancarai Wanda Harahap (boru/puteri kandung Gunung Mulia). Melalui cerita yang dituturkan Wandalah, Imran akhirnya dapat menyelesaikan buku riwayat TS Gunung Mulia Harahap. “Buku ini adalah perintisan tentang Gunung Mulia. Kita masih perlu mengembangkan lebih lanjut dengan mengonfirmasi apa yang Wanda ceritakan tentang bapaknya,” jelas Imran.
Todoeng Soetan Goenoeng Moelia Harahap, lahir- tumbuh bersamaan dengan maraknya semangat Politik Etis dan berkembangnya gerakan zending di Tanah Batak. Dia lahir di Padang Sidempuan, 21 Januari 1896, sebagai putera satu-satunya dari sebuah keluarga Kristen generasi kedua Batak Angkola, di kawasan Tapanuli Selatan. Kakeknya, Ephraim Soetan Goenoeng Toea (1840-1916), adalah salah seorang pemeluk Kristen awal di Tanah Batak. Sang kakek kemudian menduduki jabatan resmi tertinggi untuk pribumi di masa itu, sebagai jaksa utama (hoofddjaksa) di Tapanuli. Adapun ayahandanya bernama Hoemala Mangaradja Hamonangan (1865-1933), yang semula berprofesi guru, kemudian menjadi pedagang.
Ketika Mulia studi pedagogi di Leiden pada 1911, dia bergabung dengan Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging). Selain di Perhimpunan Hindia, dia juga bergabung di Gerakan Mahasiswa Kristen Belanda (Nederlandsche Christen Studenten Vereeniging, NCSV). Di organisasi inilah, ia bertemu dengan aktivis Kristen dan tokoh-tokoh terkemuka Politik Etis. Salah seorang di antaranya adalah Hendrik Kraemer—yang memberi pengaruh cukup besar kepada Moelia sepanjang karirnya. Kraemer adalah seorang misionaris, teolog, dan tokoh oikoumenis Hervormd, serta intelektual yang bersimpati kepada nasionalisme Indonesia.
Menjadi pendidik merupakan cita-cita Mulia sejak awal. Saat menyelesaikan pendidikannya di negeri Belanda, Mulia langsung membenamkan dirinya dalam dunia pendidikan. Ketika menjadi anggota Volksraad, dia kritik sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif sekaligus memperjuangkan pendidikan untuk semua golongan pribumi.
Bersama adik sepupunya, Amir Sjarifuddin Harahap, Mulia adalah salah satu pelopor Jong Batak yang memiliki andil melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di masa penjajahan Jepang, dia juga menjadi anggota Dewan Pusat Budaya—bersama sejumlah tokoh pendidikan dan kebudayaan terkemuka, seperti Ki Hajar Dewantara, Husein Djajadiningrat, G.S.J.J. Ratu Langie, dan Prof. Soepomo.
Karena kompetensi dan nasionalismenya itulah, Mulia menjabat sebagai Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir I, menggantikan Ki Hajar Dewantara. Demikian pula dalam Kabinet Sjahrir II, yang berakhir Oktober 1946, ia menjadi Menteri Muda/Wakil Menteri Pendidikan.
“Kiprah TS Gunung Mulia Harahap sudah jelas bagi kita bahwa dia layak mendapat tempat dalam catatan sejarah negeri ini. Setidaknya keempat lembaga yang pernah dia berjasa di dalamnya patut mengapresiasi dan mempublikasikan kiprahnya agar tidak hilang begitu saja,” tutup Imran dalam paparannya.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan