
BatakIndonesia.com — Petani kentang di pedesaan seperti Humbang Hasundutan, dibuat bingung atau lebih tepatnya dibuat pasrah. Penulis, amati hal serupa terjadi di wilayah lain, seperti di wilayah Karo, Sipirok, sebagai lokasi lumbung pangan Indonesia.
Masalahnya, sering terjadi anomali atau pertentangan logika petani. Musim panen tiba, tentu kebutuhan sudah menunggu harap-harap cemas, tetapi justru harapannya sirna karena “harga menurun” tak terduga.
Minggu lalu, per kg Rp5.500 hari ini, Sabtu 4 Desember 2021, harga menjadi Rp5.000. Fluktuasi itu, bahkan menyakitkan jika jatuh lagi di bawah Rp5.000. Artinya harapan turut serta menikmati kue sharing profit bersama petani sirna. Jika posisi Rp5.000 marginnya berada di posisi Rp2.000. Itu keuntungan.
Bandingkan harga hari ini di pasar, Jakarta, Medan, Pekanbaru, Siantar dan lainnya sudah dibeli konsumen Rp10.000. Itu pun ibu-ibu berantri ria di pasar beli untuk kepentingan rumah tangganya.
Jarak antara konsumen akhir dengan petani bentangannya Rp8.000. Jumlah yang fantastis. Empat kali lipat untung bagi tata niaga kentang katimbang petani.
Adilkah? Kita tidk bisa berani bersuara. Mereka diam, bekerja, hujan, dan terik bahkan bisa kerja sampai malam baru tiba di rumah. Kepada siapa mereka mengadu?
Persaingan tidak sehat di lapangan
Bagi seorang petani, para pedagang sangat diperlukan. Bahkan saking diperlukannya sering ada sistem ijon. Uang diterima di depan dengan penentuan harga rendah, tetapi karena keperluan mendesak untuk uang sekolah anak maka sistem ijon jadi pilihan.
Tata niaga dikendalikan toke besar (istilah lapangan toke). Di ujung rantai panjang berhadapan dengan perani adalah para pedagang kecil. Pedagang kecil ini jumlahnya banyak bahkan pasti ada persaingan di antara mereka. Merebut dengan janji-janji bagus bahkan membawa angin surga. Begitu dihubungi lagi, sudah tidak bisa lagi karena dia ketahuan spekulasi juga. Jarang bisa ditemui para pembeli di lapangan untuk menjalin sebuah kemitraan.
Oleh karena mereka itu memiliki toke lebih besarnya lagi yang akan di pool di satu titik agar dibawa ke Jakarta, Pekanbaru, Medan dan sebagainya.
Entah siapa yang menentukan harga riel, ekonomis dan bisa menguntungkan petani ini. Hanya menduga-duga, para pemilik modal lah yang mampu menentukan berapa harga pembelian di Lapangan. Mereka yang mengendalikan harga, dengan mengisi pasar pasar secara terkendali.
Jika harga di pasar tinggi, lalu tidak lantas dinikmati petani. Mereka menumpuk barang di gudang, dengan pembelian harga rendah dari petani. Inikah namanya spekulan-spekulan itu?
Saya kira, pemodal yang memiliki uang, memiliki armada besar seperti truk, tronton, akan memiliki akses perpanjangan tangan ke tingkat paling rendah petani, sudah melakukan praktek monopoli tidak sehat. Jikapun tidak dilakukan seorang diri sebagai monopoli, tetapi dilakukan beberapa orang, yang dinamai Cartel. Beberapa toke besar yang bersepakat untuk mengatur jumlah barang dan harga tiap waktu.
Disparitas harga yang sangat besar, tidaklah sehat. Tidaklah adil dari sisi moral. Tidaklah baik dari sisi ekonomi Pancasila.
Lalu?
Siapa yang mengatasi tata niaga ini?. Departemen Perdagangan? Menteri Pertanian atau Lembaga HKTI atau apalah lembaga yang sejak dahulu namanya besar, tetapi dampaknya tidak selalu dirasakan rakyat?
Saya berpendapat, guna mengatasi anomali ini, Pemerintah wajib mengintervensi dengan regulasi. Regulasi tata niaga holtikultura yang mampu kendalikan harga yang berpihak ke petani.
Selain itu, Pemerintah daerah membangun gudang-gudang besar dikelola BUMD atau lembaga baru. Belilah dari masyarakat saat panen raya dengan harga yamg relatif tinggi. Baru lepaskan ke pasar ketiga harga di pasar trend naik. Dengan demikian harga dapat stabil, dapat menyerap dengan harga yang menguntungkan.
Pada gilirannya petani bisa gumuyu, senyum dan tambah sejahtera.
Hidup perani Indonesia.
Kebon Siborboron, Humbahas, 4 Desember 2021.
Penulis: Ronsen Pasaribu, pelaku Usaha Holtikultura.