
Oleh: Drs Tumpal Siagian*)
OPINI
Para lanjut usia, biasanya senang menceritakan pengalaman hidupnya dan dongeng kepada anak-cucunya, yang sering dikenal sebagai storytelling.
Storytelling itu sendiri adalah keterampilan bercerita yang sejatinya sudah ada sejak dulu kala sebelum ada buku dan surat kabar, telepon dan telegram, serta jauh sebelum adanya internet. Bila mendengarnya, kita menyimak, berimajinasi, mengingatnya, bahkan sampai dapat menceritakannya kembali beberapa tahun kemudian ke generasi berikutnya. Uniknya, meski diagungkan tapi Pemerintah Indonesia melambat mengikatnya dalam buku.
Kelenturan kata dalam bertutur bertalian hasrat bercerita dalam penulisan, disinilah jejak peradaban dibangun. Lebih istimewa menulis dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai. Untuk menghasilkan tulisan yang kuat dan berkualitas, tentu bertalian dengan kemauan membaca literasi sebagai jendela dunia. Tidak ada puisi atau novel lahir tanpa banyak membaca untuk membuka wawasannya, seperti yang dilakukan oleh penulis terkenal Khalil Gibran dalam puisi “Sang Nabi”, novel petualangan dan cerita detektif ala Agatha Christie, buku sastra William Shakespeare, dan Ernist Hemingway.
Di Indonesia pun demikian, pada era 1940-an puisi bernas dan cerdas Chairil Anwar sudah muncul dan pada era 1980-an, rubrik puisi di majalah sastra “Horison” diampu oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri memberi pelajaran hidup lewat puisi. Inilah fase kehidupan manusia yang bergerak dari alam yang serba lahiriah menuju puncak hakekat melintas batas dalam kehidupan batiniah, menyucikan jiwa yang bersih melalui buku sastra sekaligus mencerahkan peradaban hidup semesta.
Sastra sanggup menaklukkan keangkuhan kecerdasan model robot buatan pabrik, serta mencerahkan jiwa primitif ala hewan menjadi rubah yang ganas ala Machiavelli menuju jiwa fitrah yang menghidupkan akal budinya selaku insan berkeadaban mulia. Sastra menjadi elemen penting Trisakti bagaimana Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan itu diwujudkan. Sastra ditransformasikan pada karakter yang menggelorakan semangat nasionalisme, patriotisme sekaligus manggambarkan cita-cita adil dan makmur itu dicapai.
Tentu saja Hari Sastra Indonesia yang sepakat diperingati tanggal 3 Juli, tak lain adalah demi menyambut fajar kehidupan yang penuh adab dari harì kelahiran sastrawan Indonesia terkemuka Abdoel Moeis. Abdoel Moeis yang lahir di Bukittinggi pada 3 Juli 1883 itu melahirkan karya fenomenal diantaranya “Salah Asuhan” dan karya lainnya “Pangeran Kornel” dan “Soerapati”. Abdoel Moeis adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional (pertama) yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959.
Dalam Alkitab dengan term yang beragam syair, puisi dalam bermazmur dapat kita temukan pada Mazmur Daud, Amsal Salomo, dan Kitab Ayub. Konon, syair dan puisi menjadi sebuah ratapan berseru dalam memanggil Tuhan. Tampak agama akrab dengan syair, dan jangan lupa bahwa puisi juga sejenis doa. “Di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling”, kata Chairil Anwar.
Perang Narasi
Kini menjelang 100 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2045, saat penduduk negeri ini mencapai 269,6 juta jiwa, sungguh mencemaskan sebab minat baca orang Indonesia mengkhawatirkan, dibiarkan lumpuh tak bertenaga. Laporan Programme for International Student Assessment atau PISA, tingkat literasi Indonesia berada di urutan ke-65 dari 67 negara. Kita juga memahami betapa literasi atau kemampuan baca-tulis seperti yang kita hadapi sekarang ini membutuhkan terobosan dan ketekunan untuk berkarya tanpa kenal lelah sebagai upaya mencerdaskan bangsa dari ketertinggalan.
Ironisnya dalam jejaring internet orang Indonesia termasuk tangguh berselancar. Saat ini menggunakan media sosial menjadi kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat kita. Berbagai media berbasis interaksi warga melalui Facebook, Twitter, Youtube, dan Instagram tidaklah asing lagi di masyarakat Indonesia.
Dengan literasi yang relatif rendah, para penggiat warganet banyak yang tidak bisa membedakan antara fakta dan opini. Akibatnya, buzzers (pendengung) dan influencer (pemengaruh) menjadi pasukan untuk membangun “gimmick” politik, yang bahkan mengintimidasi dan melakukan pemelintiran kebencian. Perang narasi pun tak terhindarkan di medsos.
Mengapa Narasi Penting?
Beragam penelitian mengenai memori manusia membuktikan fakta-fakta bahwa lebih mudah mengingat narasi daripada mengingat angka-angka statistik. Bahkan bagi dunia pemasaran (marketting) analisis akan lebih menggugah emosi bila dikaitkan dengan cerita tertentu dan lebih menggerakkan orang untuk mengambil tindakan/ keputusan. Betapa ampuhnya narasi dalam segala bidang mulai dari menjual produk, dunia bisnis, pariwisata, mengajar, sampai pada menyebarluaskan agama dan ideologi melalui film dari kisah nyata hingga fiksi.
Kisah film Indonesia bertema kemerdekaan nasional umumnya menampilkan narasi kepahlawanan orang Indonesia melawan penjajah kolonial Belanda. Seperti kisah Wolter Mongonsidi yang begitu gagahnya memimpin perjuangan rakyat Indonesia di Sulawesi Utara. Sebaliknya, film Belanda bertema kemerdekaan nasionalnya pun menampilkan narasi kepahlawanan rakyat Belanda melawan penjajahan Nazi. Sedangkan propaganda Nazi seperti yang dilakukan Joseph Goebbles, orang kepercayaan Adolf Hitler, lewat teknik “Big Lie” atau “Argentum and Nausem” menyebut bahwa kebohongan yang disampaikan berulang-ulang, lama-lama dianggap kebenaran. Semuanya adalah bagian esensial dari proses “Nation Building” setiap negara dalam penguatan jiwa dan pengayaaan wawasan.
Storynomics
Cara-cara pengemasan “brand” atau jenama berbalut cerita dalam strategi pemasaran secara populer disebut sebagai “storynomics”. Jika dulu dongeng menarik bagi anak-anak untuk belajar, kini strategi pemasaran membutuhkan tingkat keahlian dunia periklanan untuk memahami profil dan target market.
Robert McKee, dalam bukunya, “Storynomics: Story-Driven Marketing in The Post Advertising World” menyebutkan, tak cukup hanya mengandalkan data dalam strategi pemasaran. Cerita berupa narasi juga dibutuhkan untuk menyentuh elemen utama masyarakat yang kental dengan kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya. Melalui storynomics, data ditempatkan dalam bentuk cerita yang menyentuh konteks pengalaman hidup.
Di Indonesia, storynomics belakangan ini kerap digaungkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam konteks ini, menyampaikan gagasan, memperkenalkan pruduk, bahkan menyampaikan nilai-nilai moral dan kearifan lokal masih menjadi nafas industri pariwisata. Kearifan lokal dalam berbagai bentuk tradisi lisan maupun tertulis, seperti pantun, cerita dan lagu rakyat terekam melalui literasi. Bahkan keramahtamahan, santun berbahasa merupakan salah satu penanda peradaban melalui pariwisata.
Cara-cara kreatif dinarasikan lewat iklan dapat kita lihat pada film-film Hollywood. Menyusupkan iklan kerap dijumpai dalam film James Bond untuk memperkenalkan otomotif dan jam tangan. Coca-Cola juga pernah menampilkan botol produknya yang dibawa Nixau Toma, suku San atau Bushmen Afrika di sepanjang film “The Gods Must Be Crazy” pada tahun 1980-an semakin membenarkan ampuhnya narasi itu. Bagaimana dengan Indonesia?
Di era 1980-an, karya A Riyanto memperkenalkan mie instan dalam sebuah iklan dengan jingle Indomie, “Indomie Seleraku”. Di era 1990-an sebuah produk rokok Bentoel Biru juga membuat jingle yang dinyanyikan Andy Williams, I Love The Blue of Indonesia” turut memperkenalkan Indonesia di panggung internasional.
Metode-metode Storynomics tersebut cukup diminati karena efisien dan kena sasaran, bahkan melahirkan ungkapan “kemiskinan narasi mencerminkan kedangkalan imajinasi”. Dengan kata lain, tanpa narasi, sebagus apa pun komoditas yang kita tawarkan akan kalah dengan barang yang tidak berkualitas, jika memiliki narasi yang bagus.
Satu pesan penting di era revolusi industri 4.0 hasil pengamatan data dan narasi mengindikasikan perubahan iklim persaingan dunia usaha dan persaingan dunia industri secara global. Sejumlah perusahaan teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook yang menyelenggarakan bisnis iklan berbasis programatik terhubung kepada relasi/konsumen dengan layanan digital mudah, cepat dan efisien. Dalam hal pengembangan storynomics ini, ada narasi berbalut cerita, advertising, dengan mengaduk-aduk emosi yang kompleks didalamnya.
Kita mungkin masih ingat, ketika restoran burger internasional mulai menancapkan kukunya di tanah air kita pada dekade 1990-an lewat jaringan waralaba Mc Donalds di Sarinah, Jakarta tahun 1991, kemudian gerai AW tahun 1985 menjadi simbol keberhasilan kapitalis global. Sekarang tren sudah mulai bergeser setelah beberapa branded/ jenama lokal muncul di berbagai segmen pasar. Para produsen burger lokal secara perlahan melalui kreativitas dan pengalaman kini menyaingi. Beberapa diantaranya, Smack Burger, Burger Bros, 2080 Burger (Twenty Eighty Burger) menambah riuhnya kehadiran “branded/jenama” pada deretan burger lokal. Caranya, dengan mengusung narasi baru soal burger” sehat” antitesis dari waralaba asing yg dianggap “junk food” alias makanan bergizi rendah dengan menawarkan burger dengan sayuran.
Kita tentu membutuhkan seorang spesialis ahli periklanan dalam menjadikan sesuatu tidak terasa kuno. Bahkan bisa berganti value dalam mendorong strategi pemasaran kian kreatif. Kepercayaan terhadap suatu jenama (brand) adalah faktor penentu bagi dunia usaha untuk melakukan transaksi bisnis. (Jakarta, 1 Juli 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S