BatakIndonesia.com — Pemerintah harus mematuhi Pasal 5 UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) Tahun 1960 agar tidak terjadi konflik tanah pada masyarakat hukum adat. Demikian Sandi Ebenezer Situngkir, SH, MH sebagai Wakil Ketua II YPDT menyampaikan dalam Diskusi Kamisan (3/11/2022) di Jakarta.
“Pemerintah tidak perlu lagi mempertanyakan dasar kepemilikan tanah masyarakat hukum adat, apalagi mempertanyakan sertifikatnya. Bahkan di KUH Perdata, seseorang dengan itikad baik sesuai hukum dapat dikatakan adalah pemilik tanahnya,” jelas Sandi.
Dengan tegas Sandi mengatakan bahwa jika rezim ini patuh kepada hukum, maka tidak ada lagi oknum pejabat/penguasa mengkriminalisasi rakyatnya.
Menurutnya, UU menyatakan sertifikat itu bukti kepemilikan bukan kepemilikan itu sendiri. Bukti kepemilikan itu berarti keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara.
Kalau demikian apa kepemilikannya itu sendiri? Sandi menjelaskan: Pertama, berdasarkan demi hukum, menurut UU adalah hukum adat; kedua, berdasarkan perjanjian, misalnya melalui transaksi jual-beli. “Hanya dua itu,” tegas Sandi.
Jadi, “Saya tidak setuju jika keputusan KLKH membatasi hak kepemilikan tanah masyarakat hukum adat. Kasusnya sama seperti tanah di Sigapiton yang dikuasai Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT), sehingga masyarakat adat dikriminalisasi. Penguasaan tanah oleh BPODT itu melanggar hukum dan tidak mengikuti proses hukum yang benar dalam menguasai tanah di Sigapiton. Mekanisme pemindahan kepemilikan di sana melanggar hukum yang berlaku. Demi mempertahankan tanahnya, ibu-ibu di sana rela separuh bertelanjang,” tandas Sandi.
Sandi menyarankan kalau kita mau membela rakyat, maka kita mengacu pada Pasal 5 UUPA Tahun 1960 tersebut bahwa kepemilikan tanah masyarakat berdasarkan hukum adat. Itulah dasar hukumnya dari kepemilikan tanah bukan sertifikat. (DanS)