
Foto: Drs. Tumpal Siagian *)
OPINI
Kebijakan Pemerintah untuk memiliki fasilitas Pusat Data Nasional untuk memudahkan manajemen satu data strategis yang terpadu dan terintegrasi layak diapresiasi. Data strategis Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah sudah saatnya saling terintegrasi untuk memudahkan pelayanan publik.
Pusat Data diharapkan dapat memfasilitasi penyediaan data dan informasi sekaligus menjembatani kepentingan berbagai elemen masyarakat, untuk mengatasi berbagai kepentingan (problem solving). Ini menjadi tekad kuat mewujudkan impian Indonesia Emas 2045, yang hanya tinggal 23 tahun lagi dalam menyongsong 100 tahun kemerdekaan.
Komitmen perwujudan Indonesia Emas 2045 ini menjadi faktor pendorong untuk mempercepat pembangunannya, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Sesuai dengan PP tersebut data strategis terkait pelayanan publik dikelola oleh negara. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), gambaran saat ini dalam sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) terdapat 27.400 aplikasi dan data base, jutaan link interoperabilitas, 2700 pusat data dan server, serta ada lebih dari 300.000 koneksi internet.
Kemenkominfo telah menunjuk dua lokasi Pusat Data Nasional yang kini sedang berproses pembangunannya yakni di Bekasi, Jawa Barat, dan di Batam, Kepulauan Riau. Lokasi lainnya ada di ibukota negara baru di Kalimantan Timur dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur. Dengan teknologi digital yang modern, pembangunan fasilitas pusat data ini memerlukan biaya relatif besar dan waktu yang panjang untuk sampai penyediaan mekanisme listrik, Kemenkominfo menyebut membutuhkan anggaran Rp 22,57 triliun.
Silicon Valley
Kebutuhan fasilitas pusat data menegaskan kembali betapa data berbasis programatik merupakan “komoditas” sangat berharga sekarang dan di masa mendatang. Di dalam dunia digital dimana data dan informasi menjadi sangat berharga lalu lintas data harus dapat dipercaya. Isu data dan pengolahannya menjadi begitu berharga dalam inovasi bisnis dinegara maju seperti kawasan Silicon Valley di Amerika Serikat (AS).
Silicon Valley dikenal mempunyai tradisi keilmuan dan riset yang kuat di bidang teknologi informasi dan komunikasi andal kelas dunia. Markas utama berbagai perusahaan teknologi raksasa dunia, seperti Google, Apple, Facebook, Hewlett Packard, Oracle, dan Twitter. Lembah ini tak hanya menjadi rumah bagi perusahaan yang mapan, sebab Silicon Valley juga dikenal karena melahirkan berbagai perusahaan rintisan. Wilayah seluas 12.140 hektar yang dihuni sekitar 3 juta orang menjadi salah satu tempat dengan penghasilan penduduk tertinggi di dunia.
Banyak negara berlomba bermimpi memiliki Silicon Valley. China salah satu diantaranya dengan membangun 17 pusat teknologi di seantero negeri. Mereka bermimpi mengubah ekonomi yang bergantung pada manufaktur menjadi yang kuat di bidang teknologi dan inovasi dalam menghadapi persaingan. Tak heran, tradisi pengembaraan China mencari ilmu sudah ada sejak awal perkembangan Islam. Ungkapan, carilah ilmu sampai ke negeri China, menandainya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Mimpi memiliki pusat data seperti Silicon Valley, sah-sah saja ditengah fenomena transformasi digital 4.0, sekaligus menyambut generasi Alfa yang lahir tahun 2013 dan sesudahnya. Tentu menjadi pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia sendiri, seiring dengan Visi & Misi untuk mewujudkan impian menjadi Negara maju di tahun 2045?
Generasi Alfa
Mark McCrindle dan Ashley Fell, Generation Alpha: Understanding Our Children & Helping Them Thrive, 2021, memberi nama generasi baru Alfa. Generasi Alfa diangggap sebagai generasi digital sejati karena sejak mereka lahir teknologi digital sudah ada di tangan mereka. Perbedaannya dengan kakak generasi Alfa yaitu: generasi Z yang memulai teknologi digital ketika usia SD, sedangkan generasi Alfa sejak anak balita.
Sekilas merunut ke belakang, generasi baby boomers (lahir 1946-1964), generasi X (lahir 1965- 1980), milenial atau generasi Y (lahir 1981-1996), generasi Z (lahir 1997-2012), dan generasi Alfa (lahir 2013 dan sesudahnya). Kita tentu mendukung supaya bisnis kian adil dan memenuhi standard legal, sehingga paduan antara binis dan generasi memberi warna tersendiri dalam persaingan.
Persaingan setara jika menghasilkan produk berdaya saing di loka pasar daring yang sudah muncul selama beberapa tahun terakhir dilanda disrupsi yang melahirkan dehumanisasi di hampir segala aspek kehidupan. Lebih-lebih ketika pasar dunia saat ini tanpa sekat. Kita perlu menemukan kekuatan produk kita yang dijajakan di loka pasar (market place) melalui algoritma beriringan dengan persaingan berat di sisi harga, jenis produk, dan kualitas.
Negara hanya dapat berkembang dan makmur jika menggunakan alur pemikiran baru dan keunggulan data yang mendorong agenda riset dan “mesin” inovasi sebagai bagian dari solusi oleh Pemerintah dan masyarakat. Kerjasama erat antara Perguruan Tinggi atau lembaga riset dengan industri, terasa efektif jika Pemerintah mengatur pola relasinya untuk mewujudkan impian dalam menyelaraskan strategi, kebijakan, layanan, dan edukasi bisnis berdaya guna. Dalam hal ini, paduan inovasi dan bisnis berkontribusi pada mutu hidup masyarakat, mutu lingkungan hidup, dan juga aktivitas ekonomi sosial, dan budaya yang semakin inklusif.
Tantangan Lintas Generasi
Dulu sulit membayangkan layanan internet masuk sampai ke desa-desa. Kini, situasi berubah ketika penetrasi generasi milenial, generasi Z, bahkan generasi Alfa mulai berperan, internet, gawai, dan media baru (aplikasi) yang terkandung didalamnya mengalir deras dari kota hingga pelosok desa. Dari situ, mereka berselancar mengarungi samudera digital dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup narsistik dalam menjual barang dan layanan jasa dalam berbelanja. Penetrasi media baru membuat dunia usaha dan produsen memiliki peluang yang sama untuk memenangi persaingan.
Lebih dari itu, generasi sekarang menghadapi tantangan seperti algoritma, teknologi digital berkenaan dengan penggunaan dan penguasaan atas data dan informasi. Tantangan lintas generasi Indonesia harus bisa seirama dan mampu menguasai serta memanfaatkan kemajuan teknologi dan tak membiarkan bangsa kita jauh tertinggal. “Digital gap” bisa jadi jurang pemisah antara kemajuan dan stagnasi serta keterbelakangan yang diakibatkan perkembangan teknologi digital tersebut.
Dalam Revolusi Industri 0.4 ini meledak berbagai kelompok teknologi, seperti Internet of Things, Artificial Inteligence (kecerdasan buatan), robot, drones, geo- engineering, neurologi, bioteknologi, energi terbarukan, dan lainnya, sehingga ahli teknologi informasi banyak dibutuhkan. Pada saat yang sama, generasi Alfa bergantung pada teknologi diatas, yaitu digital, dan mobile. Tiga ciri lainnya, yakni sosial, global, dan visual mengikutinya. Aspek global dicirikan dengan kolaborasi antarbidang ilmu, antarpihak, negara, dan bangsa. Arah ini berarti merekam dampak keunggulan bidang multidisipliner.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa menurut laporan PISA yang diselenggarakan Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) setiap tiga tahun yang menilai “kemampuan literasi membaca, matematika dan sains,” dari 67 negara Indonesia menempati posisi ke-65 atau ketiga dari bawah. Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang-bidang tersebut diatas, sangatlah mendesak pembangungunan fasilitas Pusat Data Nasional dilakukan sekaligus menyambut generasi Alfa untuk meningkatkan kualitas SDM menyongsong generasi bonus demografi 2025- 2045. Generasi manusia Indonesia tidaklah lebih rendah dari China dan Singapura yang meraih posisi tertinggi di PISA 2018.
Untuk menjawab persoalan bangsa, dengan menjabarkan konsepsi Trisakti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, menjaga atmosfir lintas generasi semakin relevan menggembleng kita untuk berinovasi dan unggul menghadapi perubahan. Tantangan ini harus direspons jika ingin ambil bagian dalam peradaban dunia masa depan.
Menurut “UN Population Prospect 2010-2085”, pada 2045 diperkirakan akan ada 9, 45 miliar penduduk dunia. Indonesia menempati posisi kelima dengan proyeksi 319 juta penduduk, dengan 47 persen usia produktif dan secara keseluruhan 70 persen kelas menengah. Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia pada tahun 2045 diprediksi akan masuk lima besar.
Kita juga perlu mengantisipasi tantangan yang muncul dalam perjalanannya dan bereaksi dengan bijak seirama dengan nilai- nilai kearifan lokal yang ada. Selain aspek kognitif (hard- skill), penyiapan kualitas SDM juga harus fokus aspek karakter (soft-skill), moral dan integritas, serta religiositas untuk memperbaiki kualitas dan kwantitas SDM generasi kita.
Kemauan dan keputusan politik Pemerintah atas mimpi besar pembangunan fasilitas Pusat Data Nasional tidak serta-merta membereskan kekacauan data antara pusat dan daerah. Karena kekacauan data ini penyebabnya bukan hanya soal infrastruktur, melainkan juga soal ego-sektoral. Setiap intansi/ lembaga ingin menggunakan anggaran masing- masing dan melakukan pengumpulan data sendiri.
Tentu, dalam hal ini Perguruan Tinggi harus mengantisipasi wadah orisional dan kreativitas yang dapat diterima generasi Alfa dalam melakukan mobilisasi digitalisasi menjadi hegemoni ekonomi. Literasi digital termasuk didalamnya literasi visual menjadi perkembangan yang layak jadi bagian standar ilmiah.
Memilih mendalami masa depan dengan kehadiran generasi Alfa berkelindan dengan adanya fasilitas pusat data nasional diharapkan akan merangsang cara berpikir pro- investasi dan kewirausahaan yang membantu penciptaan bisnis baru dalam jaringan.
Intensitasnya pun menguat, tatkala berkolerasi dengan mengubah citra dan persepsi publik terhadap masa depan dan inklusif agar terfasilitasi dengan baik bagi semua orang jika mereka ingin berkarya bagi negeri. (Jakarta, 23 Juli 2022)
*) Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny PHS