
BatakIndonesia.com — Minggu ini harga jual petani berfluktuasi, harga per kilogram terima di kebon, kisaran Rp4.500, 4.750, 5.000, 5.200, 5.300, 5.400, dan 5.500. Belum ada menyentuh harga 6.000 apalagi 7.000.
Siapa yang berbagi hasil, sharing profit?
Bila kita menutup harga Rp. 5.400 bagaimana peta sharing profitnya. Tujuan tulisan ini, sekadar menunjukkan kepada publik apa yang dirasakan petani kentang, dan apa yang terjadi di tata niaga kentang sesunguhnya. Tentu, ada rasa keadilan, dalam tata niaga kentang ini.
Lebih jauh, kita akan menurunkan nilai ekonomi Pancasilakah yang terjadi, atau Ekonomi Bebas, Capitalism System?
Kita mulai dengan pertanyaan di harga berapa BEP (Break Even Point), sesuatu titik silang dalam kurva Permintaan dan Penawaran di mana tidak ada untung, tidak rugi dan tidak untung alias nol.
Perhitungan sendiri, BEP Kentang 3.000 per kilogram. Jadi, jika dilepas harga 5.400 maka petani mendapatkan 2.500 per kilo atau 2.500.000 per ton.
Mari lihat bagaimana di pasar Induk. Harga pada saat yang sama di daerah 5.400 maka di Pasar Induk mencapai 6.000-7.000 per kilogram.
Saat yang sama jika kita beli kentang di pasar rakyat untuk beli konsumsi di rumah kepentingan keluarga per kilo bisa sampai 9.500 bahkan 10.000.
Tata niaga kentang itu, tampaknya tidak selalu menguntungkan petani. Perbandingan harga ke Pasar Induk kisarannya 1.600 (7.000-5.400). Rp1.000 transportasi Sumatera Jakarta. Pedagang besar mendapat 600 per kilogram.
Lalu, dibanding harga di pasar rakyat? Kisaran dengan petani per kilogram 5.400 dengan 10.000, yaitu: 5.600.
Jika dipersentasekan hampir 100% lebih keuntungan ada pada pemain perdagangan ini. Pengecer di pasar rakyat pasti tidak berani menjual di atas 10%, sebab yang belanja adalah ibu-ibu yang sangat sensitif soal selisih harga dari satu penjual ke penjual lain.
Kartel bermain
Profit 100% menyangkut tata niaga kentang mulai dari agen besar yang membeli dari wilayah provinsi, lalu dijual ke Pasar Induk. Agen pengecer ke pasar-pasar, mulai Pasar Induk ke pasar kecil melalui pengecer besar dan sampai pedagang kecil, sudah bersaing sengit menentukan harga belinya.
Lalu siapa yang menentukan harga 7.000 dan 10.000 di konsumen? Dalam ekonomi makro, tak dapat kita sebut siapa, tetapi nyatanya ada dan pihak itu mampu memainkan harga di Pasar Induk di kota besar tiap provinsi. Invisible hand. Tangan tak nampak, tetapi setiap hari berperan menentukan harga.
Jika mau harga petani rendah, dan ingin profit tinggi, dengan mudah mereka menimbun di gudang sebanyak-banyaknya dengan harga beli murah. Begitu momentum demand tinggi bisa akibat sesitivitas pasar Natal, Lebaran, maka harga pasar dilepas tinggi. Sementara petani relatif naik sedikit, namun tidak ikut menikmati boomingnya demand akibat lonjakan harga itu.
Dengan penyampaian itu, maka bila kita petani harus lihat skala luas perkebunan. Untung signifikan manakala luasnya atau jumlah omsetnya besar.
Kiat kiat petani memang harus memproduksi minimal tiga item atau diversivikasi produk seperti cabai, kol, dan kentang. Pemetaan harga, berbeda di cabai yang harganya bisa 25.000 atau berfluktuasi 40.000 per kilogram, sehingga istilah saya, penulis ada subsidi silang. Rendah cash flow di kentang, dan koll disubsidi di cabai.
Namun yang pasti, petani Indonesia, rentan soal harga ini karena peran dominan para kartel besar, kapitalis Indonesia.
Di mana peran pemerintah soal harga ini? Hemat saya masih minim sekali. Semoga ada kebijakan yang berpihak pada petani.
Hidup petani Indoneaia, Hidup FBBI.
Kebon Siborboron, Awal Desember 2021.
Penulis: Ronsen Pasaribu