
Oleh: Drs Tumpal Siagian*)
OPINI
Meniti transisi ketentuan Presidensi G-20, Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 harus memberikan contoh, memberikan optimisme dalam mengusung agenda dunia yakni memperkuat kesehatan global, memajukan transformasi digital yang inklusif serta transisi energi.
Indonesia dituntut untuk mampu menyelaraskan agenda global dengan kepentingan domestik. Termasuk didalamnya penyelesaian berbagai tantangan seperti penanggulangan kemiskinan, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), perubahan iklim dan ketahanan pangan Nasional. Sebab, resiko yang dihadapi terkait upaya pengendalian perubahan iklim turut mengancam ketahanan pangan di setiap negara.
Tahun 2022 ini adalah tahun kritis untuk atasi perubahan iklim terutama oleh masyarakat yang terpapar kerawanan pangan dan air, gelombang panas, serta krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Bencana hidrometeorologi yang lebih sering juga berpengaruh ke penurunan kualitas udara (clean air) dan kualitas air (clean water), menyebabkan penyakit, hingga ketahanan pangan. Hal ini terjadi akibat peningkatan suhu bumi sehingga mempersingkat proses kematangan tanaman dan menurunkan produktivitas.
Menurut laporan dari Lancet Countdown yang dirilis Kamis (21/10/2021) tercatat, produksi sejumlah komoditas di beberapa negara telah mengalami penurunan hasil panen. Jagung mengalami penurunan 6 persen dalam potensi hasil panen, gandum penurunan 3 persen dan beras penurunan 1,8 persen, dibandingkan dengan periode 1981-2010. Laporan tersebut juga mengungkap, bahwa negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, kerap tidak bertanggungjawab dalam peningkatan emisi GRK. Mereka juga cukup tertinggal dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Laporan ini menunjukkan perubahan iklim sangat berkaitan dengan kerawanan ketersediaan pangan global. Setiap makanan yang kita konsumsi ternyata memiliki jejak karbon, dan pilihan menu kita sangat menentukan masa kehidupan di planet bumi yang kita tinggali ini.
Temuan di jurnal Nature Food edisi September 2021 menyebutkan, seluruh sistem produksi pangan dari mulai penggunaan mesin pertanian, penyemprotan pupuk, dan pengiriman produk, menyebabkan 17,3 miliar metrik ton GRK pertahun atau 35 persen dari semua emisi global. Sebanyak 57 persen di antaranya dari produksi makanan hewani dan 29 persen dari nabati.
Daging sapi menyumbang seperempat emisi di sektor pangan, dan sisanya dari penggunaan lahan lain, seperti kapas atau karet. Ini berarti, semakin banyak kita mengonsumsi pangan hewani, semakin besar emisi karbon yang dilepaskan. Hewan ternak membutuhkan banyak lahan yang umumnya didapatkan dari penebangan hutan, serta area tambahan yang luas untuk menanam pakan.
Selain itu, langkah menuju ketahanan pangan saat ini semakin kompleks. Keberadaan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ternyata belum mampu mencegah alih fungsi lahan dan hutan.
Luas lahan sawah tahun 2009 mencapai 8, 06 juta hektar (BPS, 2009) dan tahun 2019 tercatat 7, 46 juta hektar. Artinya, terjadi konversi lahan pertanian rata-rata 54.000 hektar per tahun. Sementara keberadaan program Food Estate, banyak kalangan merespons skeptis, karena menimbulkan krisis lingkungan yang baru.
Food Loss and Waste/FLW
Pengembangan aneka pangan Nasional, terutama jagung, beras, nonberas dan non terigu berbasis sorgum, singkong, sagu, dan ubi jalar yang melimpah produksinya di dalam negeri, harus terus dilakukan. Selain itu, kehilangan dan pemborosan pangan (Food Loss and Waste/FLW) harus dikendalikan.
Tercatat, di Indonesia tahun 2000-2019 berkisar 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita per tahun. Karena FLW menghasilkan GRK menyebabkan dampak lingkungan serta menjadi ancaman bagi ketahanan pangan Nasional. Di identifikasi, sampah makanan berasal dari padi-padian (38,72 persen), daging (25,15 persen), dan produk makanan yang berasal dari tepung terigu (18,74 persen).
Di AS dan China, kampanye FLW sudah dicanangkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan sudah merencanakan mengesahkan UU tentang Zero FLW pada 2030. China, sejak 29 April 2021, memiliki UU tentang limbah pangan (FLW). UU ini mengatur larangan pembuatan dan penyebaranluasan video pesta makan berlebihan. Ada pengenaan biaya tambahan jika tak mampu menghabiskan makanan yang dipesan, dan denda kepada restoran yang membuang makanan dalam jumlah besar.
Bagaimana dengan Indonesia? Kampanye Zero FLW sudah harus dimulai dari rumah tangga, tempat kerja, hotel, dan restoran. Pemerintah harus berani membuat peraturan dan sanksi berupa denda bagi rumah tangga dan restoran yang membuang limbah pangan dalam jumlah tertentu. Karena itu, peluang merealisasikan program pemerintah dalam pengurangan emisi karbon serta pengurangan limbah pangan (FLW) merupakan upaya lain menuju ketahanan pangan Nasional.
Merumuskan Langkah Menuju Ketahanan Pangan
Letak geografis Indonesia yang berada di antara persilangan dua samudera dan dua benua, serta merupakan negara kepulauan dengan topografi yang beragam, menjadi iklim di Indonesia begitu dinamis dan kompleks. Sejumlah faktor yang berperan terhadap perubahan iklim diantaranya, fluktuasi suhu permukaan laut, peredaran angin, cuaca ekstrem semakin kerap menghantam Indonesia.
Ketika kerentanan lingkungan mendera, fenomena ekstrem ini tidak jarang merembet ke persoalan kerusakan lingkungan berupa bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, angin puting beliung, dan tanah longsor kerap menghantui sejumlah daerah. Dampak kerusakan yang ditimbulkan pun semakin berlipat ganda karena rusaknya lingkungan. Diperparah dengan adanya pembalakan liar, pencemaran air, tanah, dan udara, juga hutan gundul hingga tanah tandus, perlu menjadi perhatian karena menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pelemahan ketahanan pangan Nasional.
Sementara, berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 1 Januari hingga 25 September 2021 terjadi 362 longsor di berbagai wilayah di Indonesia. Longsor tercatat sebagai bencana tertinggi ketiga setelah banjir (814 kejadian) dan puting beliung (500 kejadian).
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sepanjang 2020 terjadi 2.099 bencana longsor dan 73 persen di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Terdapat lebih dari 1.500 kejadian longsor di Jawa pada 2020. Tingginya kejadian ini membuat sebanyak 304 orang meninggal, 7.226 orang mengungsi dan 6.310 rumah rusak. Artinya, dampak bencana cenderung menurunkan produksi, meningkatnya permintaan, dan disrupsi rantai pasok.
Karena itu, perlu merumuskan langkah menuju ketahanan pangan berkelanjutan melalui peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau, dan bantuan pangan bagi masyarakat rawan pangan dan rakyat miskin. Indonesia masih memiliki area yang potensial yang belum dikembangkan. Ada wilayah yang penduduknya sedikit, tapi memiliki area luas untuk pertanian. Misalnya, Papua sebagai produsen sagu terbesar di dunia, dengan luasan tanaman alami lebih dari 1, 2 juta hektar. Selama ini baru sebagian kecil dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Perlu dikembangkan agar memberi manfaat besar bagi perekonomian.
Pemetaan peta jalan pangan dan energi perlu dicarikan sumber daya alternatifnya diantaranya bertambahnya sumbangan-sumbangan lahan pertanian menjadi manufaktur, dan mengecilnya produktivitas sumbangan sektor pertanian dari tahun ke tahun supaya dihentikan. Ketaatan pada rencana tata ruang wilayah dan penyelesaian konflik ketidak-adilan agraria secara profesional, transparan dan akuntabel menjadi langkah strategis ke depan. Perlu pula diberikan sanksi kepada pengusaha yang tidak menggubris isu lingkungan atas penyerapan karbon bersih dari sektor lahan dan hutan, serta mendukung target Indonesia mencapai net zero emission atau emisi nol pada tahun 2060.
Antisipasi Keseimbangan
Pembangunan rendah karbon dan pencapaian emisi nol bersih yang ambisius jadi kesempatan mengerem dampak krisis iklim. Kekayaan energi bersih terbarukan (EBT) di Indonesia, baik hidro, bayu, surya, maupun panas bumi, harus terus dioptimalkan. Sekarang ini dicoba lebih realistis sehingga seharusnya bisa lebih baik. Ini proses menuju titik keseimbangan dimana pemanfaatannya mesti terukur dan seimbang dalam aspek pasokan dan permintaan keekonomian, serta tak mengabaikan/ meniadakan penyeimbangan energi fosil batubara, minyak, dan gas bumi.
Karena itu, meski tidak mudah, upaya menuju EBT tidak boleh berhenti. Penurunan emisi yang lebih ambisius menjadi pilihan mutlak dalam kontribusi aktif pencapaian Nation Determined Contribution (NDC), apabila ingin mengerem dampak perubahan iklim ini. Keseimbangan pangan dan energi bisa diselaraskan tanpa mengganggu kebutuhan dasar manusia. Semua itu tentunya membutuhkan disiplin dan komitmen yang perlu dilakukan secara konsisten untuk merekomendasi ulang penurunan emisi karbon dioksida.
Pemerintah pun mengharapkan peran aktif kalangan dunia usaha dalam mengatasi masalah perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan dengan melakukan praktik bisnis yang menerapkan prinsip ekonomi hijau. Sebab, praktik bisnis bukan hanya berfokus pada pencapaian keuntungan, tetapi harus memperhatikan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan fisik, nonfisik maupun lingkungan sosial. (Jakarta, 10 Januari 2022).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny PHS