
Oleh: Drs. Tumpal Siagian *)
OPINI
Suhu permukaan bumi masih terus meningkat seiring Revolusi Industri abad ke-18 yang masif menggunakan bahan bakar fosil, menghasilkan emisi karbon yang terjebak di atmosfer, memerangkap panas matahari, sehingga terjadi perubahan iklim. Dampaknya sudah dirasakan di seantero dunia, termasuk Indonesia.
Sebagai negara kepulauan yang dikelilngi laut, Indonesia merupakan salah satu Negara yang sangat rentan terdampak pemanasan global, dimana permukaan laut terus naik terdampak perubahan iklim. Terumbu karang rusak parah, berbagai biota laut yang penting akan keberlangsungan hidup makhluk di bumi menjadi mimpi buruk yang tak terperikan.
Dalam riset terakhir, pertambahan suhu bumi telah mencapai 1,1-1,3 derajat Celsius dan diperkirakan akan melewati titik kritis dalam lima tahun kedepan. Dalam situasi itu, seluruh pihak memahami perlu ada upaya yang jauh lebih keras untuk mengurangi emisi karbon, guna mencegah pemanasan global.
Dunia menanti terobosan berarti dari Konferensi Iklim Para Pihak atau Conferences of the Parties (COP)26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris, dari tanggal 1-12 November 2021, sebagai tindak lanjut amanah dari COP21 di Paris tahun 2015 lalu. Komitmennya, setiap negara berupaya menahan kenaikan suhu permukaan bumi di 1,5 derajat Celsius, melindungi komunitas lokal dan habitat alamiah, serta memobilisasi keuangan dan kerjasama global dalam mengantisipasi ancaman gangguan kesehatan. Para pemimpin dunia di COP26 agar berperan penting dalam penurunan emisi dan mendesak aksi nyata lawan perubahan iklim.
Presiden Jokowi pada kesempatan tersebut menegaskan, Indonesia akan terus berkomitmen mengurangi emisi karbon, mengakhiri deforestasi pada 2030, serta memperkuat kerjasama ekonomi, terutama dalam pengembangan ekonomi hijau. Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida global secara masif diperlukan sebelum semuanya terlambat.
Peran Indonesia mengatasi perubahan iklim sangat penting mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan dan ekosistem mangrove terbesar di dunia. Diperkirakan 3,14 miliar ton karbon tersimpan dalam hutan mangrove Indonesia. Demikian pula dengan hutan hujan tropis yang berperan menjadi paru-paru dunia, menyerap karbon dan menghasilkan oksigen dalam proses fotosintesis. Fotosintesis yaitu pengolahan bahan secara sederhana menjadi bahan yang lebih kompleks, dengan bantuan sinar matahari.
Ironi Batubara
Kejutan terjadi saat Xi Jinping, Presiden China, mengumumkan tidak akan lagi mendanai PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di luar negeri, yang disampaikan dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Selasa (21/9/2021). Dia memutuskan menghentikan investasi pembangkit listrik tenaga batubara, serta mendorong ekonomi hijau dan rendah karbon di negara berkembang. Padahal, data dari National Energy Administration memperlihatkan energi batubara memasok 56,8 persen terhadap total kebutuhan energi listrik China pada 2020. Kini, lebih dari separuh provinsi China, terpaksa memadamkan listrik secara massal gara-gara kekurangan pasokan listrik hingga beberapa gigawatt. Bahkan, beberapa provinsi China sudah berupaya untuk mengatasi defisit energi ini, dengan menambah impor batubara dari Rusia, Mongolia, dan Indonesia.
Ironis memang. Di saat Presiden China Xi Jinping mencanangkan supaya perusahaan perusahaan meninggalkan investasi pada pembangkit listrik tenaga batubara, China mengalami krisis energi. Hal itu disebabkan pasokan energi listrik berbasis terbarukan, tenaga udara, dan energi bersih dan terbarukan (EBT) lainnya belum mampu menggantikan energi berbahan fosil batubara. Di lain pihak, pasokan batubara dan listrik, amat penting untuk keselamatan warga mereka menghadapi musim dingin pada akhir 2021 ini. Tanpa pemanas, warga bisa kedinginan, lalu sakit atau bahkan meninggal.
Akhirnya pada pertemuan COP26 itu, China selaku investor batubara terbesar di dunia tidak menyetujui kesepakatan yang digagasnya sendiri yaitu, menghentikan investasi di sektor batubara di negara berkembang. China hanya mengumumkan dekarbonisasi pada 2060, karena memerlukan analisis pengamatan yang sangat kompleks.
Komitmen Pengurangan Karbon
Semenjak Revolusi Industri bergulir, batubara telah memungkinkan mesin uap James Watt membawa para petualang dan penjajah Eropa mengarungi samudera, termasuk ke Indonesia. Sejarah eksploitasi batubara di Indonesia dimulai sejak 1849 di Pengaron, Kalimantan Timur, oleh perusahaan Belanda, NV Oost Borneo Maatschappij. Berikutnya, pertambangan Bukit Asam pada tahun 1919.
Strategi yang sama ditempuh China, untuk menjadi raksasa ekonomi dunia dengan mengandalkan batubara berkisar hingga 70-80 persen energinya. Pada 2010, China merupakan 48 persen dari konsumsi batubara dunia. Tak ayal, sejumlah kekuatan ekonomi baru di berbagai belahan dunia seperti China dan India, tergantung pada batubara, hingga pertumbuhan batubara dunia, antara 2001-2010 melesat hingga 45 persen.
Pada saat yang sama, pembakaran batubara melepaskan emisi karbon dan logam berbahaya seperti merkuri, timbal, dan arsenik ke udara menjadi emisi gas rumah kaca (GRK) yang tertinggi dan terus berlanjut hingga kini. Upaya dunia menghentikan penggunaan batubara sedang mendapat ujian serius. Langkah China ini justru membuat harga dan kebutuhan energi batubara di Asia dan Eropa melonjak tajam. Alih alih menghentikan penggunaan energi batubara, pemadaman listrik sudah lebih dulu dialami China. Banyak pabrik di negara itu berhenti beroperasi gara-gara keterbatasan listrik.
Seperti China, kini India kesulitan mendapat pasokan batubara. Sejumlah media India, seperti The Hindu dan Indian Express Rabu, (6/10/2021) melaporkan, India menghadapi kelangkaan batubara. Otoritas India5 menyebut, 135 pembangkit listrik yang memasok hingga 66 persen kebutuhan negara itu, hanya mempunyai cadangan rata-rata untuk 4 (empat) hari. India bersiap pada pemadaman massal karena keterbatasan pasokan listrik. Bahkan sebagian pembangkit listrik sudah mulai berhenti beroperasi, akibat kehabisan batubara.
Kala negara-negara maju seperti Uni Eropa getol menghentikan penggunaan batubara, pada saat bersamaan, permintaan batubara di Asia dan Eropa kini malah naik. Faktanya, di negara maju sekalipun, tantangan transisi bahan bakar fosil beralih ke energi bersih, banyak sekali. Jika di Belgia dan Belanda saja masih mengombinasikan gas alam dengan batubara, bisa dibayangkan bagaimana kondisi di negara-negara berkembang yang listriknya belum merata di semua wilayah.
Sementara itu, Indonesia dan Malaysia ikut mengumumkan komitmen pengurangan karbon, meski Indonesia menyebut pemanfaatan energi fosil hingga 2050. Sedangkan Malaysia akan mengurangi pemakaian 45 persen emisi karbon pada tahun 2030. Rencana yang terdengar paradoks ini akan memanfaatkan skenario mengandalkan batubara sebagai sumber penting devisa ekspor dan pemenuhan 60-65 persen sumber energi primer lewat pengoperasian PLTU.
Karena itu, dibutuhkan komitmen dari setiap negara COP26, sebagai langkah konkret, demi mewujudkan nol emisi karbon atau NZE (Net Zero Emission), selambat-lambatnya tahun 2060.
Investasi Hijau Untuk Masa Depan Berkelanjutan
Banyak orang percaya bahwa mengurangi konsumsi energi batubara dan beranjak ke EBT, menjadi solusi terbaik padahal sebenarnya lebih dari itu. Mau setop pakai energi fosil, tetapi penyedia EBT masih kecil, belum siap memasok kebutuhan itu.
Sebetulnya, pembangkit listrik bukanlah satu-satunya pemicu kenaikan suhu global atau meningkatnya efek GRK. Penyebab lainnya adalah gas buang kendaraan (transportasi), aktivitas industri, rumah tangga, serta alih fungsi hutan atau kebakaran hutan dan lahan. Terkait sektor hutan dan lahan (Forest and Land Use/ FoLU) ini, menjadi kunci menurunkan emisi.
Supaya tidak tersesat di belantara keputusan COP26 mencegah kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat Celsius, kita merespons secara positif sebagai momentum mengelola investasi dengan bijak, untuk masa depan berkelanjutan. Investasi dalam membangun jalan raya antar provinsi, jembatan dan akses infrastruktur jalan pada permukiman, membuka diri untuk investasi hijau. Kesediaan membuka diri untuk investasi hijau termasuk pabrikasi baterai ataupun pengembangan industri mobil listrik, sekaligus komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan peralihan ke sumber energi yang ramah lingkungan, jadi kian relevan.
Pembangunan pabrik kendaraan listrik dan industri baterai memberi kontribusi besar pada investasi. Hal ini tercermin pada peningkatan investasi di sektor industri logam dasar yang notabene adalah komponen pembuatan kendaraan listrik dan baterai.
Saat ini, pembangunan pabrik kendaraan listrik dan industri baterai sedang dikembangkan di Karawang, Jawa Barat, antara Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution bersama pemerintah Indonesia. Kedua perusahaan menginvestasikan dana 1,1 miliar dollar AS. Pembangunan dijadwalkan pada triwulan IV-2021 dan diharapkan selesai pada semester I-2023. Pabrik yang dibangun di atas lahan seluas 330.000 meter persegi itu diharapkan menghasilkan sel baterai lithium-ion NCMA (nikel, kobalt, mangan, aluminium), dengan total 10 gigawatt jam (GWh) per tahun dan mampu memenuhi kebutuhan lebih dari 150.000 unit mobil listrik.
Akhirnya, ungkapan ilmuwan Herbert Spencer yang dipopulerkan Charles Darwin kembali bergema, yaitu, “survival of the fittest”, yang terjemahannya adalah: organisme terbaik dalam beradaptasi dengan lingkungannya adalah mereka yang paling berhasil dalam bertahan hidup. Atau dengan kata lain, mereka yang paling bisa beradaptasi. (Jakarta, 6 November 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny PHS