BatakIndonesia.com — Melengkapi catatan ringan sebelumnya selama di Lumajang, berikut tidak lengkap rasanya jika tidak menuliskan catatan yang agak tidak ringan. Sebuah memorabilia sebagai catatan sejarah perjalanan kami dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Kantor Pertama selama karier, di mana sebelumnya menjabat Kepala Seksi Hak Atas Tanah di Kabupaten Jember.
Konsolidasi, hal yang lazim dilaksanakan sebagai seorang Kepala Kantor. Bagaimana fungsi staffing, koordinasi dan mengenali kekuatan dan kelemahan staf dalam memulai pekerjaan? Pun dengan Bupati Fauzi Wibowo, mantan Sekda Kabupaten Malang yang tentu rapi dalam administrasi.
Penguatan konsolidasi mulai dari Tata Usaha, termasuk keuangan, Kasubag Personalia. Land reform, yang menangani penataan tanah negara obyek redis yang begitu luas di Lumajang, Seksi Pengukuran tanah termasuk peta dan pengukuran; Penatagunaan Tanah. Hal ini penting karena luas Lumajang konturnya lengkap datar dan lereng hutan, Hak Atas Tanah dan terakhir sengketa.
Catatan menonjol adalah efek pernyataan Presiden Gus Dur, yang mensinyalir 30% aset PTP atau BUMN bersal dari milik rakyat yang belum selesai diganti rugi. Bak menyiram bensin lalu disambar api.
Lumajang wilayah yang bergerak di depan, masyarakat pinggiran Kawasan Hutan khususnya Perhutani sebagai BUMD Kementerian Kehutanan menjadi sasaran.
Masyarakat serentak menebang kayu jati milik Perhutani. Mereka berpendapat, katimbang menebang kaki orang mending menebang kayu perhutani.
Sudah barang tentu ini masalah pelik. Kondisi keamanan masyarakat mencekam. Di atas pukul 21:00 malam tidak ada lagi yang berani berjalan antarkampung, kecamatan dan diwajibkan darurat keamanan.
Seluruh rakyat ikut ronda. Berpengaruh pada kami di BPN akan berhati hati dalam survei ke lapangan.
Sebelumnya, sudah ada masalah yang kami hadapi, yaitu konflik antara pemilik tanah berbatasan dengan Perhutani. Dipicu gegara Polhut selalu memegang bedil jika melakukan pengawasan perbatasan. Ini menumpuk dendam rakyat. Batas belum jelas alias kabur, ditambah lagi tindakan pengamanan yang berhadapan senapan dengan alat pertanian biasa seperti celurit, parang atau lainnya.
Selaku Kakan, menyoal batas yang benar mana? Rapat di Pemda dan Pemprov saya usulkan agar “peta kawasan hutan” di update bersama dengan peta pendaftaran Kantah Kabupaten Lumajang.
Pimpinan setuju, artinya saya mengadu kemampuan Kadasteral Kantor Pertanahan dengan Kadasteral yang dimiliki Kementerian Kehutanan, dalam hal ini, Badan Planologi di Bogor.
Kami sama-sama ahli, tetapi beda kepentingan, begitulah dalam hatiku. Ini sebuah karya besar dalam menyelesaikan konflik yang bertahun terulang dan seakan BPN juga sangat mungkin masuk penjara jika mengukur kawasan hutan.
Kebetulan kawasan hutan ditandai dengan pilar batas Erfact Verponding atas nama Boswisen, atau kawasan hutan jaman Belanda. Namun karena lama, pilar berukuran diameter 1×2 meter itu pun hancur atau dihancurkan, tak tahu pasti. Akhirnya sepakat turun ke lapangn dan menentukan batas originair, pengembalian batas.
Selesai pemasangan tugu kembali muncul ide saya waktu itu menyertifikatkan tanah Perhutani secara mengeliling sepanjang hutan itu. Inilah ibarat bantal, pembatas antara pemilikan masyarakat dengan Perhutani.
Ide ini baik, tetapi tidak mendapat respons dari Perhutani. Yidak jadi masalah. Sejak saat itu persengketaan batas sudah tidak ada lagi.
Guna menyelesaikan permasalahannya, sebaiknya ditindaklanjuti dengan menetapkan tanah yang benar-benar masuk kawasan, tetapi sudah digarap masyarakat dengan mengusulkannya Objek Reforma Agraria atau TORA.
Ini kesempatan emas bagi masyarakat. Mereka bisa kembali menggarap tanpa berhadapan dengan Polhut yang pegang senapan, tetapi menjadi ada kepastian hukum tentang batas dan bahkan bisa dilepaskan menjadi kepemilikan masyarakat disertipikatkan Redistribusi Tanah.
Monggo penerus kami dilanjut, rintisan perjuangan ini.
Jakarta, 14 Januari 2023. Pkl. 22.30 WIB!
Penulis: Ronsen Pasaribu/RP.