BatakIndonesia.com — Ada tulisan kesakasian Mariatul panggilannya Maria, kebetulan staf pembantu Bendahara P3HT di Propinsi Jawa Timur Tahun 1985-1990 di mana bendaharanya saya, Ronsen Pasaribu, penulis.
Kami sama-sama merangkap staf Hak Atas Tanah pada Subdit HAT seksi Hak Pakai/Hak Milik, tetapi juga mengerjakan proses Surat Keputusan Pemberian hak lainnya seperti Hak Guna Bangunan, Hak Pengelolaan jika ada. Jadi menarik kali ini bernostalgia tentang Hak Atas Tanah. Tulisan ini sebatas refleksi, tidak bahasan ilmiah.
Maria menuliskan kenangannya atas sikap atasannya di Staf Seksi Hak Atas Tanah Kab. Bangkalan, yang tidak tolah-toleh alias berprinsip menolak permohonan hak atas tanah tambak di Madura.
Tentu kawan lainnya yang menjadi Kakan di Kab. Bangkalan, Soegiarto, SH, juga berikan komentar serta Herman Soesanto, mantan Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Kepala Kantor Pertanahan.
Kita mengetahui pentingnya unsur tanah dalam kehidupan manusia perlu dibuatkan aturan-aturan tentang hak, status serta pemanfaatannya. Kita saksikan, tanah tidak bertambah, yang bertambah adalah manusia itu sendiri. Apalagi jumlah anak tidak dikendalikan maka tanah akan semakin sesak, sempit malah berebut menimbulkan sengketa, konflik dan perkara.
Desakan itu teramat sangat dirasakan oleh petugas Kantor Pertanhaan terutama di bidang yang menangani Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Per definisi, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara, kondisi ini belum pernah diberikan hak atas tanah. Belum juga diakui sebagai tanah adat oleh masyarakat adat. Jaman Belanda, disebut GG (gront governament).
Prosesnya jika masyarakat datang mensertifikatkan, masuk pada seksi Hak Atas Tanah. Tidak mudah memroses langsung menjadi sertifikat karena harus dipertanyakan banyak hal, di antaranya yang terpenting apakah tanah tersebut hendak digunakan oleh Pemerintah untuk fasilitas umum dan di sinilah pentingnya Rencana Tataruang.
Jika tatruang sudah dibuatkan secara detail (RDTRR) lebih mudah kita memutuskan melalui overlay Surat Ukur dan RDTRnya.
Namun, ilmu pemberian hak mengajari kita harus mengedepankan sistem pertanahan, apa yang disebut Penataan Pertanahan. Ini jiwa ilmu pertanahan, posisinya harus di hulu. Arahan seksi penataan atas tanah itu apa?
Jika kita mengajukan pertanyaan itu, maka kita adalah insan BPN yang utuh, tidak ego sektoral.
Pantaan berbicara apakah tanah negara itu obyek redistribusi atau tidak? Artinya redistribusi itu memastikan tanah itu akan jatuh pada petani, petani yang tidak punya tanah lalu “diberikan haknya melalui lembaga redistribusi”.
Redistribusi bersumber utama tanah negara, apakah tanah negara bebas, tanah muncul gegara tanah mengeras atau timbunan delta tanah (case Sidoarjo-dikenal Kota Delta karena daratannya berasal dari endapan delta pada durasi ratusan tahun, maka ada proses fosil jadi minyak atau potensi tekanan magma ditutup tanah yang mudah hancur akhirnya jadilah case Lapindo).
Redistribusi juga dapat dari bekas Hak Guna Usaha yang tidak lagi dimanfaatkan atau terakhir bisa juga hasil dari penyelesaian konflik atau masalah pertanahan.
Apabila kebijakan redistribusi dilaksanakan maka terjadilah apa yang dinamakan pemerataan tanah, simbol pemerataan tanah dinamai Gini Rasio. Semakin merata, semakin baik. Sebaliknya semakin tidak merata, maka semakin tidak baik alias keadilan kepemilikan tanah semakin jauh.
Ini bertentangan dari cita-cita Undang Undang Pokok Agraria dan peratuan Pelaksanaannya, sebagaimana diatur lebih terelaborasi dalam UU No. 11 Tahun 2021 Jo. UU penyempurnaan oleh Presiden yang baru serta PP No 18/2021 tentang Hak Atas Tanah.
Sebagai pegawai yang berasal dari Hak Atas Tanah, melihat akhir-akhir ini banyak dampak kebijakan kita yang perlu dikritisi. Jangan sampai bandul cita-cita UUPA berjalan di tempat atau menjauh.
Bagaimana penerapan aturan atas tanah timbul di pinggiran Danau Toba, yang memakan korban pegawai BPN menjadikan tersangka. Mungkin di daerah lain, bisa saja menjadi jebakan batman bagi insan BPN.
Ketidakterangan informasi Status Hak Atas Tanah, menjadi isue sentral. Jika abu-abu pengetahuan kita atau info tanahnya maka saran saya insan BPN harus hati-hati mengambil keputusan pemberian hak atas tanahnya.
Sebab, masih ada yang mendefinisikan tanah negara sama dengan Aset Negara, atau Aset Pemerintah, sekalipun tidak pernah diakuisisi atau dibebaskan.
Cerita awal tulisan ini tentang ketegasan menolak permohonan hak atas tanah yang nampaknya tanah muncul dengan fisik tambak, sudah betul. Sebab, jika pun diproses maka tanah itu diperuntukkan tambak oleh petani dan lembaganya adalah redistribusi hak atas tanah.
Sedangkan permohonan hak, subyeknya adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki kemampuan ekonomi relatif kuat jika dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki tanah.
Cukup dahulu, semoga tulisan ringan ini ada manfaatnya.
Cengkareng, Jakarta Barat, 20 Januari 2023, pkl. 10.00 WIB! RP.