BatakIndonesia.com — Dalam sebuah diskusi FGD, Ronsen Pasaribu menjadi pembicara menyampaikan topik: Refleksi tentang Tanah Negara dan Tanah Adat bagi Kita (Gereja dan Masyarakat). FGD (Forum Group Discussion) ini berlangsung di Student Center PP-GMKI, Jakarta Pusat, Jumat (3/3/2023).
Pertama, Ketua Umum FBBI Ronsen Pasaribu menjelaskan tentang asas domenin. Dalam hukum yang baru, UUPA (Undang-Undang Pertanahan dan Agraria) tidak mengenal asas ini. Karena itu, asas domein dalam agrarisch besluit (S 1870-118) dicabut.
UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai pasal 33 ayat 3 UUD tidak perlu asas domein, sehingga negara tidak menjadi pemilik tanah. Negara lebih tepat sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia atau bangsa, sehingga negara bertindak sebagai badan penguasa.
Kedua, ada batas-batas kekuasaan negara dengan Hak Atas Tanah dalam UU No. 5 Tahun 1960. Kekuasaan negara bagi yang sudah dipunyai seseorang “dibatasi” oleh isi dari hak itu artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya. Sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4, yaitu: macam-macam hak seperti HM, HGU, HGB, HP, Hak Sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil, hak-hak lain yang tidak termasuk di atas yang ditetapkan dengan UU (seperti HM Sarusun, Hak Wakaf).
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan tujuan tersebut negara dapat memberikan tanah tersebut kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra –Pemda) untuk digunakan dalam pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4).
Kondisi Khusus
Khusus kepada Lembaga Keumatan seperti Sinode, gereja semua denominasi, Yayasan, PNPS, Koperasi, Lembaga Swasta dan lainnya dapat diberikan Hak Atas Tanah yang disesuaikan dengan tataruangnya. Rumah Peribadatan diberikan dengan atau dipersamakan dengan individu, yaitu: Hak Milik. Dengan syarat, lembaga keagamaan tersebut sudah diberikan lisensi penerimaan Hak Milik oleh Menteri ATR/Badan Pertanahan Nasional.
Namun demikian, Senior GMKI ini juga menyampaikan bahwa kekuasaan negara atas tanah ini pun sedikit banyak dibatasi oleh Tanah Ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (pasal 3). Ada tidaknya ulayat tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya.
Tanah Negara dan Tanah Adat
Pernyataan Tanah Negara (domeinverclaring) yang dinamakan Keputusan Agraria (Agrarisch Besluit), yaitu: S.1870 No 118, menyatakan: “Semua tanah yang tidak dapat dibuktikan bahwa tanah itu menjadi eigendom orang lain adalah tanah Negara (domein van den staat). Negara yang menjadi eigenar, kecuali jikalau orang lain dapat membuktikan bahwa dia yang menjadi eigenar dari tanah tersebut. Ada dua jenis Tanah Negara, yaitu: Tanah Negara bebas (vrij Staatsdomein) artinya tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia dan Tanah tidak bebas (onvrij staatsdomein) tanah yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
Selanjutnya, Tanah Negara sesuai Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesutu hak atas tanah.
Selain itu, ada proses pemberian hak sebagaimana diatur dalam PMNA No. 3 Tahun 1999 Jo. PMNA No. 9 Tahun 1999. Hak atas tanah-tanah ini tunduk pada UUPA bagian ke II, tentang Konversi atas hak-hak lama atau hak milik jaman Belanda (?).
Bagaimana dengan Tanah Adat? Tanah Adat mengacu pada definisi sesuai ayat 3 dan 5 UUPA:
Ayat 3: Dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Regulasi tentang Hukum Ulayat ini, yaitu: aturan tentang tanah Komunal di Indonesia. Dari sisi Pemerintah Daerah, ini memerlukan Peraturan Daerah untuk memastikan ada tidaknya tanah ulayat atau komunal di suatu daerah.
Ayat 5: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Penutup
Selain Ronsen Pasaribu, hadir juga pembicara lain bernama Barken Y. Rahayaan (Ketua Bidang Agraria dan Maritim PP-GKMI Periode 2022-2024) dan moderatornya Ruvino P. Wattimena (Sekfung. Bidang Agraria dan Maritim PP-GKMI Periode 2022-2024).
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan