
JAKARTA, BatakIndonesia.com — Perpres teranyar tentang Reforma Agraria terbit tanggal 24 September 2018, nomor 86/2018 bertepatan dengan peringatan diundangkannya UUPA NO 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
UUPA adalah penjabaran UUD 45 Pasal 33 sebagai upaya pemerintah agar kendala selama ini dalam menyejahterakan rakyat dari sektor agraria dan sumber daya alam. Apa selama ini belum cukup? Pastilah belum karena yang bekerja selama ini terkesan sektor pendaftaran tanah saja, belum mengait secara fungsional kelembagaan terkait.
Reforma Agraria (RA) sejatinya bicara redistribusi, pemberian hak dan pemanfaatan sertipikat ke akses perbankan juga tali-temali dengan proses bisnis suatu kegiatan produktif di segala sektor yang dihadapi pemilik tanah. Akses tidak semata hubungan, tetapi ada upaya menguasakan (endorse) pelaku untuk memiiki kapasitas di segala bidang.
Subyek hak, diharapkan tidak menjadikan sertifikat itu tersimpan di rumah saja, tetapi dijadikan kolateral di perbankan. Begitu jadi jaminan, pemilik harus memiliki ilmu kewirausahaan (entreprenuership), sebuah keahlian terencana sampai pelaksanaan yang bersifat mandiri, elegan dan otonom. Ia mampu merencanakan, mengevaluasi, dan mengambil risiko serta mengembangkan usahanya. Hanya dengan usaha produktif, ia memperoleh hasil keuntungan (margin) yang besar, sehingga kredit bisa dikembalikan bahkan bisa memupuk modal untuk usaha yang baru.
Ini menjadi satu hal baru, yaitu: pendekatan Pemberdayaan Masyarakat sebagai strategi pelaksanaan Reforma Agraria. Artinya masyarakat disadarkan membentuk kelompok kerja usaha sejenis agar potensi menjadi kuat, mengatasi setiap masalah yang muncul dan dapat menangkap peluang yang ada. Empowering (Pemberdayaan) untuk memberdayakan yang lemah/sedang/kuat supaya tambah kuat, baik pengetahuan maupun dalam proses bisnisnnya.
Pemberdayaan Masyarakat, sebuah istilah yang mulai pudar sebenarnya karena banyak dianggap slogan kosong, cuma keren namanya, tetapi kosong dalam pelaksanaannya. Nah, dengan Perpres ini mau tak mau insan Kementerian Agraria dan Tataruang/BPN, Kementerian Keuangan, Pemprov, Kabupaten/Kota, bukan lagi pelengkap, tetapi pelaku utama, melalui gugus tugas secara hirarki dari Presiden, Kemenko Perekonomian, Kemeterian Agraria dan Tata Ruang/BPN sebagai eksekutornya. Sebagai lembaga baru, perlu assimilasi, sosialisasi, semangat motivasi baru tentang semangat Reforma Agraria agar menyatu dalam gerak langkah tiap hari.
Supaya fokus, hendaknya tiap kelompok memetakan bidang usahanya yang memang unggulan di desa masing-masing, untuk menjaga produknya bisa terjual di pasar. Jika pasar terbuka pada bawang putih, ya itulah yang ditanam. Begitu juga sektor lainnya, sehingga tidak terjadi semua tanam cabai, akhirnya pasar jenuh, pada gilirannya tak terbeli dan harga jatuh, sehingga masyarakat merugi.
Legalisasi Aset juga dipertegas dalam Perpres ini, cakupannya semakin konprehensif, yang mencakup redistribusi tanah, pemberian tanah berikut legallisasinya atas tanah negara yang berasal dari pelepasan Kawasan Hutan, tanah terlantar, dan lainnya. Juga legalisasi tanah yang semula sudah menjadi milik masyarakat, namun belum bersertifikat. Oleh kekuatan APBN, APBD dihibahkan kepada masyarakat sebesar biaya pensertifikatannya kecuali pajak. Artinya baru sekarang ditegaskan dukungan APBN/APBD yang pro rakyat. Dengan dibantunya legalisasi tanahnya maka memungkinkan memiliki sertifikat untuk kegunaan kolateral tadi.
Permasalahannya, apakah tujuan RA yang sangat holistik ini dapat begitu saja mendarat di bumi Indonesia ini? Jawabannya tergantung pemerintah dan rakyatnya itu sendiri. RA mengusung misi keadilan sosial juga karena dengan adanya redistribusi akan mempersempit ketimpangan kepemiikan tanah di Indonesia (gini ratio), dan dengan usaha produktifnya masyarakat akan membuat ekonominya semakin kuat. Pada saat itulah kesejahteraan itu digapai.
Penulis: Dr. Ronsen Pasaribu (Ketua Umum FBBI)
Editor: Boy Tonggor Siahaan