BatakIndonesia.com — Selama ini kita menganggap tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Presiden Sukarno melontarkan niat menetapkan hari berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 sebagai “Hari Kebangunan Nasional.” Banyak pelaku sejarah tidak setuju dengan niat Sukarno tersebut. Mengapa?
“Kita harus melihat apa yang melatarbelakangi berdirinya Budi Utomo,” ujar Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah Batara R. Hutagalung. Batara menyampaikan dokumen tertulis kepada redaksi di Jakarta pada Sabtu (20/5/2023) melalui pesan WhatsApp.
Berdirinya dan Bubarnya Budi Utomo
Pada 20 Mei 1908 di Batavia (sekarang Jakarta) berdirilah organisasi bernama Budi Utomo. Pendirian ini atas dorongan dari R. Wahidin Sudirohusodo (7-1-1852 – 26-5-1917), seorang dokter Jawa dan beberapa pemuda dari etnis Jawa yang termasuk golongan priyayi (bangsawan) rendahan. Mereka belajar di Sekolah Dokter STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen –
Sekolah Dokter Pribumi).
Adapun tujuan pendirian Budi Utomo ini untuk membantu putra-putra bangsawan Jawa dan Madura dari golongan rendah agar memperoleh biaya pendidikan lanjutan. Pada waktu itu hanya putra-putra bangsawan golongan tinggi di kalangan komunitas etnis Jawa dan Madura, terutama tentu yang pro Belanda, yang dapat menikmati pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi.
Walaupun semua anggota Budi Utomo dari etnis Jawa dan
Madura, tetapi bahasa pengantar di Budi Utomo adalah bahasa Belanda. Bahasa Indonesia belum ada, dan bahasa Melayu belum sangat populer di kalangan masyarakat luas.
Dalam Kongres Budi Utomo pertama bulan Oktober 1908 di Yogyakarta, terjadi pergeseran arah dan tujuan Budi Utomo. Saat itu generasi tua yang adalah bangsawan-bangsawan Jawa dari golongan tinggi mendominasi Kongres. Banyak di antaranya adalah pegawai-pegawai atau pensiunan pegawai pemerintah kolonial. Cukup banyak dari para bangsawan golongan tinggi yang tidak setuju dengan gagasan memberikan beasiswa pendidikan lanjutan untuk putra-putra bangsawan rendah. Mereka berpendapat, cukup bangsawan tinggi yang mendapat pendidikan lanjutan.
Salah satu yang menentang gagasan memberi beasiswa kepada putra-putra bangsawan golongan rendah adalah Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat (21-4-1879 – 20-9-1952). Dia adalah keponakan dari Wahidin Sudirohusodo.
Rajiman tidak menyetujui pendidikan barat untuk masyarakat etnis Jawa. Dia termasuk kelompok yang menginginkan kembalinya kejayaan Jawa.
Jadi dalam kongres tersebut terjadi polarisasi antara golongan muda dengan golongan tua, yang dimenangkan oleh golongan tua. Para bangsawan tinggi dari golongan tua mendominasi Pengurus pertama Budi Utomo, sehingga golongan muda tersingkir.
Ketua terpilih adalah Raden Adipati Tirtokusumo, mantan Bupati Karanganyar. Wakil Ketuanya adalah R. Wahidin Sudirohusodo.
Setelah Budi Utomo berdiri, banyak bangsawan dan pejabat kolonial dari etnis Jawa yang masuk menjadi pengurus dan anggota Budi Utomo. Budi Utomo sama sekali tidak berpolitik. Bahkan pengurusnya masih bekerjasama erat dengan pemerintah kolonial, karena mereka memang pegawai-pegawai pemerintah kolonial.
RA Tirtokusumo menjadi Ketua Budi Utomo sampai 1911, dan Pangeran Ario Noto Dirojo menggantikannya. Pemerintah kolonial banyak membantu dengan pendanaan. Di masa kepengurusan Pangeran Ario Noto Dirojo, Budi Utomo mendapat dana dari pemerintah kolonial sebesar 50.000 gulden. Pemerintah kolonial membantu pendanaan dalam rangka melaksanakan “politik etis” pada 1901. “Politik etis” mendapat banyak kecaman karena terjadi penyimpangan dalam pelaksanaanya.
Kedekatan Budi utomo dengan pemerintah kolonial membuat para pemuda pendiri Budi Utomo tidak puas, karena telah terjadi penyimpangan dari tujuan semula, yaitu: mencari beasiswa untuk pemuda-pemuda Jawa-Madura dari bangsawan golongan rendah. Karena perbedaan pendapat yang sangat tajam, Suwardi Suryaningrat dan R. Cipto Mangunkusumo yang termasuk golongan muda yang progresif, kemudian keluar dari Budi Utomo. Demikian juga para pemuda Jawa yang ikut mendirikan Budi Utomo di Batavia pada 20 Mei 1908, termasuk mantan ketua dan pendiri Budi Utomo, Sutomo, keluar dari Budi Utomo.
Pergerakan Budi Utomo sendiri semakin lambat karena Budi Utomo lebih mengutamakan pendidikan para priyayi golongan tinggi daripada pendidikan untuk masyarakat luas. Selain itu, ada kecenderungan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Akhirnya Budi Utomo bubar pada 1935.
Sebuah Rekayasa
Jadi dari latar belakang berdirinya hingga bubarnya Budi Utomo terlihat tidak ada sama sekali apa yang kita sebut semangat kebangkitan nasional. Itu semacam rekayasa segelintir kelompok tertentu yang berharap memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan pendidikan bagi golongan putra-putra bangsawan rendah.
Rekayasa tersebut makin jelas setelah golongan bangsawan tinggi mendominasi Budi Utomo. Selain itu juga, hanya untuk kepentingan Jawa dan Madura, tidak mewakili kepentingan di luar kedua suku tersebut. Lalu di mana makna kebangsaannya? Apakah Budi Utomo ini dapat dianggap munculnya kebangkitan nasional? Sejarah membuktikan tidak tampak semangat kebangkitan kebangsaan tersebut.
Dengan adanya keterbukaan data dan informasi yang dapat diakses publik, kita patut membenahi atau meluruskan penulisan sejarah kita. Sudah cukup banyak pakar sejarah, para Guru Besar Sejarah seperti Prof. Sartono Kartodirdjo, Prof. Ahmad Syafii Maarif, dan Prof. Taufik Abdullah yang telah menulis mengenai kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan dalam penulisan sejarah baik di buku-buku untuk sekolah-sekolah maupun untuk umum.
Pada waktu penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia, ketika menyusun jilid VI, Sartono mengundurkan diri karena tidak setuju dengan isinya. Isinya ada yang menyimpang dari penulisan sejarah. Sebelum Prof. Sartono mengundurkan diri, Prof. Taufik Abdullah, telah terlebih dahulu mengundurkan diri dari tim penyusun Sejarah Nasional Indonesia. Bahkan kabarnya, Prof. Deliar Noor “dipaksa” untuk mengundurkan diri.
Sumber tulisan dari Batara R. Hutagalung
Editor: Boy Tonggor Siahaan