
Oleh: Drs Tumpal Siagian*)
OPINI
Indonesia bisa menjadi pusat perekonomian global ke depan, karena memiliki keanekaragaman lokal, baik hayati, geologi, maupun seni budaya, apalagi dilihat dari aspek geografis diantara dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Secara fakta, Indonesia terdiri atas lebih dari 17 ribu pulau, dihuni 1.340 etnis, serta jumlah penduduk 237 juta jiwa, yang menjadi magnet kepentingan berbagai negara. Pulau, etnis, dan penduduk bukan cuma sekadar jumlah, tapi juga pasar dengan ukuran yang sangat besar (big size market). Dengan kata lain, hubungan geografis, dan penduduk merupakan kekayaan yang memunculkan potensi pasar produk dan jasa.
Gideon Rachman dalam bukunya, ” Easternization” mengatakan, pakar-pakar menyebut Abad Asia sebagai kebangkitan peran Asia dan penurunan peran AS- Eropa. Transformasi peran itu dimulai dengan kebangkitan ekonomi Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Lalu kemudian China, India, dan kuda hitam Indonesia diharapkan menjadi macan Asia.
Indonesia seyogianya harus bisa bertransformasi, dari sekadar pasar menjadi produsen terbesar merebut rantai pasok global. Narasi ekonomi lebih diprioritaskan dan mendapat perhatian. Apalagi sekarang ini Indonesia memiliki pertumbuhan penduduk (bonus demografi) cukup baik dengan porsi orang muda lebih besar. Jumlah penduduk dengan porsi kelompok usia muda memang ikut memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Pasar (Market)
Pada awal kemunculannya, pasar (market) itu bersifat inklusif. Tapi terbuka kepada siapa saja yang mau datang dan bergabung. Pasar juga fungsinya mempertemukan penjual dan pembeli yang tak saling kenal. Bertemu (antara permintaan dan penawaran) dengan kepentingan yang sama dan tujuan yang sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama sandang, dan pangan. Pada mulanya kegiatan ekonomi berpusat di pasar-pasar tradisional dalam skala kecil. Bahkan, dulu berlaku model barter, barang ditukar barang, sebelum ditemukan alat tukar berupa mata uang.
Kemudian berkembang menjadi korporasi dan konglomerasi yang mengendalikan proses produksi tingkat nasional. Seiring dengan waktu, inklusivisme pasar di tingkat nasional dan globalpun berkembang menjadi eksklusif. Terjadi persaingan perebutan sumber ekonomi memunculkan perang dagang yang melibatkan Negara dalam proteksionis warganya.
Peran Negara pun dengan signifikan memengaruhi eksistensi pasar. Perang teknologi antara Amerika Serikat dan China menunjukkan, tidak ada pasar bebas tanpa intervensi Pemerintah. Sebab, negara memiliki legalitas dan otoritas dalam mengendalikan sumber daya alam dan aset produksi. Akhirnya, berbagai perjanjian bisnis dan kerjasama baik yang dilakukan negara maupun masyarakat Swasta mengemuka berdasarkan pandangan dan kacamata bisnis yang diyakini bermuara pada kesejahteraan bersama dan saling menguntungkan.
Di tengah lesunya ekonomi akibat pandemi covid-19 sebetulnya ada peluang-peluang baru bagi dunia usaha dan industri Indonesia untuk berkembang. Saat ini ada disrupsi besar dalam rantai pasok global, dan Indonesia termasuk negara yang akan menikmati jatah rantai pasok global itu jika bisa memanfaatkannya. Persoalan pelik terkait produksi, jasa, infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) dan dukungan Pemerintah tampak masih lemah, sehingga kita mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan terjadi karena kita kalah cepat dibandingkan negara lain. Salah satu penyebab ketertinggan kita selama ini adalah belum terbentuknya peta jalan (road-map) dimana riset dan inovasi menjadi bagian penting didalamnya.
Kejelian pelaku pasar membaca pasar dan dukungan regulasi berbasis riset dan inovasi dengan komitmen kuat Pemerintah atas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bukan tidak mungkin diatasi. Para investor dengan strategi investasi berharap investasinya bertumbuh pesat. Dunia usaha pun demikian, diharapkan selalu berinovasi. Tanpa itu, sulit mewujudkan mimpi menjadi pemain utama di pasar global. Sebab, produk yang dihasilkan baru bisa disebut inovasi jika ada kebaruan atau nilai tambah dibandingkan dengan produk lainnya yang hampir serupa, bermanfaat dan tepat guna.
Tantangan (Challenge)
Kolaborasi riset dan inovasi menjadi tantangan. Penyebabnya, berkelindan mulai dari implementasi UU Nomor 11 tahun 2000 tentang Cipta Kerja yang digadang sebagai penentu arah permainan (game changer) dan lemahnya daya saing karena gagap mengikuti revolusi industri 4.0. Tantangan terbesar antara tiga pihak, yakni peneliti, dunia usaha, dan Pemerintah.
Sekarang sudah ada terbentuk BRIN. Menyimak penggabungan sejumlah lembaga riset non-kementerian dalam Perpres Nomor 33 Tahun 2021 dan menyeruaknya isu politik dalam pembentukannya, membuat nuansa politisasi riset dan inovasi diperdebatkan. Karena Pasal 6 Perpres itu, seputar fungsi Pengarah BRIN, diduga telah memolitikkan riset, ataupun membebani riset dengan soal-soal ideologi mengemuka. Perlu penegasan Pemerintah untuk meredam spekulasi dengan prasangka yang menyelimutinya.
Diluar perdebatan itu, BRIN diharapkan mengoptimalkan dan mengkonsolidasikan kapasitas riset dan inovasi. Peneliti dan dunia usaha/industri harus mewujudkan keselarasan melalui aspek link and match, dan tidak boleh ada hambatan diantara kedua belah pihak. Sedangkan Pemerintah dalam hal ini BRIN, memfasilitasi dan menyiapkan regulasi termasuk menghadirkan data kuantitatif untuk memastikan hubungan antara peneliti dan dunia usaha agar bisa berjalan lancar.
Kini, resep suatu negara jadi maju ialah, dengan mendorong kemajuan berbasis pengetahuan (science-oriented) dan berbasis teknologi (technogical-oriented). Beberapa negara sudah membuktikannya seperti AS, China, Jerman, Jepang, dan Swiss; menghasilkan produk hasil kolaborasi riset dan inovasi ‘link and match’, dengan dunia usaha dan dunia industri. Kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan teknologi ini sangat vital bagi kelangsungan kemajuan dan peradaban bangsa. Tak ada perbantahan antara rezim demokratis, otoriter, komunis atas pentingnya pengetahuan dan teknologi. Bahkan, Mao ZeDong dalam Revolusi Kebudayaaannya meyakini, “sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan”.
Program riset dan pengembangan dan penguasaan teknologi China melaju cepat. China semakin menancapkan kukunya dalam penguasaan sains dan teknologi antariksa. Hal ini terlihat dari berhasilnya mendaratkan wahana robotic “Chang’e”, di sisi belakang Bulan pada Januari 2019 dan sukses mendaratkan wahananya, “Zhurong” di permukaan Mars pada 15 Mei 2021.
Berharap Mukjizat
Mencermati Perpres Nomor 33 Tahun 2021 tentang ruang lingkup BRIN yang begitu luas menjangkau riset di hampir semua bidang dari soal-soal sosial, politik, ideologi, kemasyarakatan dan budaya, dipandang perlu melakukan pilihan tentang kebijakan, arah, fokus, dan prioritas menjadi penting. Determinasi politik dari Presiden Jokowi diperlukan dalam konteks ketegasan sikap dan kepastian arah itu, mengingat masa periode Presiden tinggal 3,5 tahun lagi. Presiden sebaiknya menegaskan, bahwa semua program dan kegiatan-kegiatan riset sampai tahun 2024, benar-benar terkonsentrasi pada arah, fokus, dan prioritas riset dan inovasi di bidang kesehatan, yang nantinya berdampak pada pemulihan ekonomi.
Sementara itu, selama 16 bulan terakhir ini betul-betul merupakan situasi yang sangat sulit. PPKM Darurat membuat kita diam terpaku. Sejauh ini, sudah 6 negara yang secara tegas melarang penerbangan ke Indonesia, yaitu: Arab Saudi, Hongkong, Taiwan, Uni Emirat Arab (UEA), Singapura, Oman dan kini giliran Filipina sedang mengkaji penutupan penerbangan ke Indonesia karena Indonesia termasuk negara dengan resiko tinggi penularan Covid-19.
Sejumlah lembaga kajian berpandangan, cara terbaik pengendalian Covid-19, tentukan kecepatan pemulihan dengan mewujudkan lompatan besar dalam mendukung cita-cita Indonesia menjabarkan konsepsi Trisakti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni berdikari di bidang ekonomi. Untuk menjawab persoalan itu, momentum pandemi Covid-19 menggembleng kita untuk berinovasi dan unggul menghadapi perubahan termasuk didalamnya berdikari di bidang kesehatan.
Kita berharap ada mukjizat untuk merawat harapan dengan penyediaan vaksin dan terapi obat dalam negeri. Merawat harapan, berharap mukjizat mengingat adanya keterbatasan penelitian berbasis pelayanan dalam pengembangan terapi obat atau vaksin atas ijin edar suatu produk. Mengedepankan peran riset berburu inovasi sangat penting dalam beradaptasi secara cepat menyediakan calon vaksin dan terapi obat yang akan dikembangkan dalam konteks demand & supply.
Inovasi yang perlu dikaji saat ini, hampir 90 persen bahan baku obat (BBO) di dominasi impor. Kecanduan impor bahan baku tak sepenuhnya disebabkan BBO dalam negeri tidak kompetitif. Pasalnya, bahan baku domestik justru dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn), sementara bahan baku impor bebas PPn. Di tengah daya beli masyarakat yang rendah dari gempuran produk impor, produk domestik kurang dioptimalkan, sehingga lapangan kerja pun tak tercipta. Dalam keadaan semacam ini Pemerintah harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar, dan komunitas peneliti, supaya memberikan kontribusi lebih untuk negeri dan sangat relevan merealisasikan target Trisakti, berdikari di bidang kesehatan diantaranya penyediaan vaksin dan obat.
Selain mengurangi ketergantungan pada vaksin impor, Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, Sinopharm dan lainnya, marilah kita berikhtiar merespons uji klinis vaksin Nusantara. Hindarkan diri dari pertikaian berlarut untuk memperbaiki kondisi pengadaan vaksin dan obat di Indonesia. Butuh keputusan cepat, tepat dan berani mengambil resiko untuk tidak menghalangi uji klinis Vaksin Nusantara, sehingga rakyat dan negara diuntungkan sekaligus mengamankan stock vaksin untuk Tanah Air. (Jakarta, 19 Juli 2021)
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S