BatakIndonesia.com — Mari menoleh ke rumah kita di Bonapasogit. Lihat, renungkan dan coba ungkapkan cerita nostalgia atas rumah itu. Sebagai anak yang dibesarkan di rumah kita, pasti setiap sudut akan bercerita banyak.
Bendanya mati, tetapi melalui ungkapan kita akan dia bercerita menembus waktu beberapa dekade, sampai kini bahkan waktu yang akan datang. Kita tidak tahu rahasia hidup kita kapan dijemput oleh Tuhan. Jika kita meninggal suatu saat, cerita itu berhenti pada kita, tetapi tidak untuk orang lain, ya anak, ya cucu kita.
Penampakan rumah kami di Sigolang, itu tema tulisan kali ini. Sebelum berlanjut, bukan pamer, bukan juga sombong atas penampakannya. Rumah di Sigolang ya jauh dari mewah, jauh dari sesuatu yang ditonjolkan. Namun ke khasannya itu yang mau ditonjolkan di sini.
Tentu sama dengan rumah saudara sekalian, di bonapasogit masing-masing. Rasanya sayang jika tidak kita share cerita tentang rumah kami di Sigolang, Kecamatan Aek Bila, Kabupaten Tapanuli Selatan. Lokasi Selatan Tapsel, berbatasan dengan Labuhan Batu, dikelilingi Desa Tolang, Sipange, Tapus, dan Biru (video dengar lagu Sigolang Nauli di YouTube).
Tampak rumah kami yang gagah, kokoh, elegan, di barisan jejeran rumah rumah di Sigolang. Luasnya kira-kira (tidak pernah diukur) 15 x 25 M2, dikelilingi halaman, di belakang masih tampak asri ditumbuhi kelapa hasil karya orangtua kami, BT Pasaribu dan Emelia br Dongoran, keduanya sudah almarhum.
Teknik sipil rumah ini, punya makna. Di depan dinamai Kantoor, tempat Bapak menerima tamu di sore hari, minum kopi, teh atau sekadar makan ringan entah siapa saja yang sedang berjalan lewat, selalu dipanggil “mampir” (maradi hamu koum-bahasa Batak Angkola). Ya siapapun. Segera Inang menyiapkan minuman bahkan makan siang bagi tetamu yang lewat.
Ruang tamu, cukup besar. Bahkan jika ada makan bersama, muat 100 orang, setiap kami datang dari kota libur selalu dijamu makan di ruangan ini dan bapak cerita hasil rapor kami dan tentu prestasi di sekolah secara rinci.
Di akhiri makan malam. Bentuk rupa pesta apapun, ya di ruang besar ini. Akan tetapi jangan lupa, jika malama tiba, ruang besar berfungsi tempat tidur, berjejer, sayap pertama laki laki dan lainnya perempuan. Indahnya melepas lelah jika sudah malam begini.
Kamar ada dua, tetapi jarang ditempati. Karena jika tidur, lebih senang tidur bersama di ruang ini. Sedang di belakang, dinamai dapur, pernah saya bangun dengan beton semuanya. Satu kamar tidur, Ompung almarhum Patuan Sarang, agak hangat karena dinding sudah semen.
Inilah bangunan pertama di Sigolang memakai semen, namun sekarang sudah beberapa bangunan dari semen. Lama pembangunannya selesai karena keterbatasan uangku saat itu. Tapi alm. Bapak sabar, sampai akhirnya selesai. Tentu dapur, di Sigolang mudah menerka, warna hitam akibat asap tungku dengan bahan kayu, bukan gas seperti di kota. Di sini kami tempatkan satu TV, meja makan, kamar mandi sekaligus WC ada di dalam rumah. Air, cukup di kampung Sigolang karena asalnya dari gunung dialirkan 10 Km pakai ledeng. Bahkan air meluap.
Mari kita lihat atapnya. Atapnya warna merah, karena sudah lama. Menurut cerita Bapak, usianya sudah 100 tahunan. Sebab, itu seng didapat lungsuran dari rumah Abang Jahadengganan Pasaribu (alm), orangtua dari alm Tunggul Pasaribu/Sahara Pasaribu. Sering saya katakan kalau rindu lihat rumah di Sigolang Julu (sekarng sudah tidak ada lagi), lihatlah seng rumah kita ini.
Puncak rumah ini ada Simbol Belalai Gajah, maknanya rumah Kerajaan Sigolang. Bahwa Desa Sigolang dibuka pertama kali oleh Manaccir I Pasaribu. Jauh sebelum kemerdekaan, bahkan masih ditemui situs-situs jaman Hindu, sebagai penanda Desa ini tertua di wilayah Tapanuli Selatan.
Fungsi rumah kami, ternyata tidak sekadar rumah tinggal yang ditabalkan masyarakat sebagai rumah Raja Huta, tetapi juga rumah Pengadilan di Sigolang. Bapak BT Pasaribu, ternyata sebagai hakim atas perkara Tipiring yang terjadi di Sigolang. Ini yang khas di Tapsel, masih eksisnya peradilan Adat itu, sehingga banyak pelanggaran perdata maupun pidana yang dapat diselesaikan tanpa harus melibatkan aparat negara. Saya bisa cerita dan ini valid.
Pernah, kusaksikan bagaimana seorang mencuri ikan tangkapan seseorang. Pemilik (bubu) melapor ke rumah kami. Lalu dilakukanlah pulbaket, pengumpulan bukti dan keterangan. Lalu pelapor dan terlapor dipanggil. Biasanya malam hari, dihadiri oleh Hatobangon (tetua-tetua Desa). Pertanyaanpun dicecar oleh Bapak, lalu mendapat pengakuan pelaku. Klarifikasi pemilik bubu itu sudah dirasa cukup maka keputusan yang adil pun diambil.
Pertama, pelaku mengakui terus terang kronologis, mengapa dia ambil. Tidak ada yang lihat, dan butuh makan ikan. Kedua, minta maaf kepada pemilik dan terakhir berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Terakhir, suasana kekeluargaan pun kembali saling bersalaman. Inilah salah satu fungsi peradilan adat itu, Raja Huta memelihara harmoni kehidupan masyarakat.
Sedikit info, bahwa struktur masyarakat huta adat adalah Pasaribu, Boru dan Paisolat. Pasaribu adalah marga pembuka huta termasuk di dalamnya pendatang yang bermarga sama. Boru, adalah marga yang mengambil boru Pasaribu. Lazimnya kepada boru diserahkan tanah yang prime location juga baik sawah maupun ladang/kebun oleh karena boru Pasaribu sudah menjadi bagian marga itu. (Boru di Sigolang, marga Dongoran, Pane , Hasibuan, dan lainnya). Sedangkan Paisolat, adalah marga lainnya sebagai pendatang.
Hukum pertanahan dalam perkembangan ini, dengan lamanya dikuasai maka lama-lama menjadi milik mereka secara alamiah. Semula beli dari Marga Pasaribu, namun ada juga yang membuka hutan jadi kebunnya. Satu sikap yang jiwa besar bagi Raja Pasaribu adalah menyerahkan secara langsung atau tidak kepada penggarap menjadi miliknya sebagai jaminan untuk kehidupan keluarganya dan sudah barang tentu menjadi rakyat yang taat, pada hukum yang terbangun di Desa Sigolang yang diaktualisasikan menjadi Adat kebiasaan.
Rumah kami sudah dilengkapi listrik dan air, sehingga fasilitas di kota sudah bisa dinikmati di desa, begitu juga TV berwarna. Dikecualikan kesulitan jika sering lampu mati akibat tali sambungn listrik sering kejatuhan kayu tumbang.
Jika melihat kembali tampilan rumah, jauh dan lama ke masa silam, beberapa nostalgia antara lain:
- Rumah itulah tempat kami bersama-sama masa anak anak. Berangkat ke Gereja Sikola Minggu, bermain utamanya teringat marpajojoron.
- Dari rumah itulah kami diberangkatkan Bapak Uma, ke SMP, SMA, Universitas, bertahun-tahun sebagai bentuk kerja keras orangtua mengubah nasib kami dari petani menjadi bukan petani kelak di kemudian hari.
- Dari rumah inilah uang belanja dikirim melalui wesel rutin ke kota di mana anak-anak bersekolah, ada di Padangsidempuan, ada di Medan, dan ada di Salatiga.
- Dari rumah inilah orantua setia menunggu surat dari kami tiap bulan, kadang kami lupa mengirimkan berita dan marahlah bapak. Soal kemarahan orangtua bisa dibaca di surat. Saya ekpresikan kemarahan Bapak jika ada di antara kami yang tidak menulis surat “Songon Singa namauas paima barita sian Sikola”, dibawakan oleh Trio Rajumi, Penata lagu Tagor Tampubolon dan Musik dan Saksofon.
- Dari rumah inilah orangtua bersosialisasi baik adat maupun urusan Gereja dan sosial lainnya.
- Secara pribadi, dari rumah inilah saya membangun semangat belajar, semangat bekerja, dan membina kelurgaku dari dulu sampai sekarang.
- Dari dan ke rumah inilah kerinduan kami untuk berlabuh jika mau pulang kampung halaman, melepas rindu dari perantauan.
Jika suatu saat kelak, para pembaca berkeinginan datang ke Sigolang, maka akan turut serta menikmati sensasi rumah kami yang sederhana, bersahaja dan banyak bercerita masa lalunya kepada generasi kini dan mendatang.
Benarlah istilah, “rumahku adalah istanaku”.
Jakarta, Kamis, 06 Apriol 2023.
RP, Ompu Marcia Pasaribu.