
Perumpamaan “songon tintin ijuk” ini, kita peroleh saat belajar mata pelajaran muatan lokal di SMP Tahun 1970 an. (wawancara jarak jauh dengan Yeane Pasaribu, mantan Guru Bahasa Daerah Muatan Lokal di SMP Simangambat). Jaman sekarang sudah tidak lagi kita peroleh di sekolah dasar dan menengah.
Apa makna filosofi perumpamaan ini, terutama di Wilayah Tapanuli Selatan. Perumpamaan ini sangat populer. Bahkan Radesa musik, Deddy Gunawan, oleh Masputra Siregar mempopulerkan lewat lagu Batak Angkola, Mandailing. Silahkan putar videonya, menceritakan pengingkaran sang istri tercinta, namun pada akhirnya melupakan suaminya, dan suami merasa seperti tintin ijuk.
Mari kita elaborasi, lebih dalam lagi perumpamaan ini, agar bisa kita petik intisarinya. Semoga berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Tintin, bahasa Indonesianya Cincin. Perhiasan yang terbuat dari emas bahkan ada dari mutiara dengan tujuan mempercantik diri terutama bagi perempuan. Fungsi cincin pun bertambah, ketika calon mempelai ingin menabalkan sebuah tanda keseriusannya dengan memberi cincin pada tunangannya. Betapa cincin ini begitu indah, memperindah penampilan seseorang dan mampu jadi pengikat janji setia semati.
Tintin ijuk, terbuat dari ijuk, ada pada pelepah pohon enau. Biasanya digunaan untuk membuat tali secara tradisional di Tanah Batak. Kita ambil sebuah ijuk dan bisa dijadikan menjadi cincin, disematkan pada jemarinya. Nilainya tentu tidaklah ada, kalau tidak dapat disebut sangat murah sekali.
Jika digali makna cincin ijuk ini, tentu hanya dapat diartikan jika dijadikan sebagai perumpamaan. Songon tintin ijuk. Kepada siapa perumpamaan ini dialamatkan?
Bagi seseorang yang sengaja atau tidak sengaja tidak melaksanakan tugas fungsinya, sehingga seseorang itu alpa pada saat dibutuhkan orang lain. Ketika orang lain membutuhkan kehadirannya, membutuhkan perannya, membutuhkan spesifikasi yang dimilikinya namun ternyata dia tidak hadir maka bagi pihak atau orangtua yang memerlukan bantuan itu mengatakan “kau seperti tintin ijuk”. Harusnya kau hadir memberikan nilai indah, seindah tintin emas, tetapi kenyataan hancur lebur tak membawa makna apa-apa. Pada gilirannya, ke depannya, apabila memang ketidakhadiran itu sebuah kesengajaan maka berpikir ulang untuk menghadirkannya.
Mengingat ini perumpamaan, maka muncullah kata-kata, ya biarlah dia tidak hadir ibarat tintin ijuk yang hilang tak merasa rugi sebab sejatinya ijuk tak bernilai. Namun jika hadir, maka bisa saja nilainya bak tintin emas.
Dengan menyampaikan hal di atas, betapa halusnya sebuah kritik yang disampaikan dalam perumpamaan ini. Sementara, faktanya sangat sarkastik mengarah ke penyampaian yang kasar, terus terang dan berdampak sangat besar dalam relasi atau hubungan bersosial. Dalam hubungan keluarga, masyarakat, kantor dan di tempat ibadah sekalipun. Karakter yang dikandung dalam perumpamaan ini bersifat a-sosial.
Kita diharapkan menjadi sebuah mercusuar indah, mencuatkan cahaya dan kebanggaan luar biasa untuk memperindah sebuah cita-cita. Namun sebagai dampak ketidakacuhan “kita” menjadikan tidak hadir pada saat-saat yang membahagiakan itu, maka diumpamakanlah kita “songon tintin ijuk”. Tentu, merugikan dan menyedihkan sebab hasilnya kontra produktif, merugikan baik diri sendiri maupun pihak lain.
Contoh anak melawan orangtua, membuat dia harus pergi tanpa kasih sayang. Di Dalihan Natolu pun, setiap peran harus hadir, jika kita dengan sengaja tidak hadir, peran kita akan digantikan orang lain. Di Kantor pun demikian, jika kita malas dan indispliner maka tipoksi kita akan digantikan orang lain. Organisasi Masyarakat pun demikian, jika seseorang diberi tugas tapi tidak hadir maka akan digantikan orang lain. Jadi “kita di sini” dapat perumpamaan Songon tintin Ijuk.
Menyedihkan bukan, terkecuali ada alasan yang dikomunikasikan terlebih dahulu dengan alasan pengecualian situasi kondisi tidak bisa hadir. Dapat dimaklumi, apalagi saat sekarang musim Covid- 19. Sampaikan dengan patut, karena jarak, waktu kantor yang tidak mengijinkan dan alasan lainnya.
Betapa sedihnya seorang istri, dalam lagu irama Dangdut Melayu, gubahan Masputra Siregar, pengingkaran isteri sampai tiga kali akhirnya harus ditinggalkan sang suami, hanya karena perubahan kasih sayang, sehingga perasaan sang suami diperlakukan seperti Tintin Ijuk.
Pesan utama tulisan ini, jauhkan saya sebagai tintin ijuk tapi jadilah saya menjadi Tintin Emas atau Permata.
Jakarta, Jumat, 3 September 2021.
Ronsen Pasaribu (Ketum FBBI)