Masalah terpenting dari kacamata saya sebagai ASN Purna Tugas, Ronsen Pasaribu, 36 Tahun di Agr/BPN. Kepala Kantor 7 Kakan, Kabag TU, Kabid HTPT, Direktur Konflik Pertanahan, Direktur Land Reform, Kakanwil BPN Riau, Direktur Pemberdayaan dan ditutup dengan Penasehat Ahli Menteri bidang Reforma Agraria.
Apa sebenarnya masalah pokok dalam bidang agraria pertanahan. Berikut uraiannya:
- Masalah Land Reform (LR) merupakan inti kebijakan Agraria Nasional, guna pemerataan tanah dan keadilan (gini ratio, sampai saat ini masih di bawah normal). Masalahnya, politik Menteri yang selalu dan membudaya ke Pendaftaran Tanah atau sertifikasi kepemilikan tanah yang keperdaan sudah dimilikinya. Mengapa LR selain porsi kebijakan mencerminkan penguasaan Menteri atas prioritas? (Menteri lebih pada hasil yang terukur jumlah sertifikat, kurang dalam redistribusi tanah) Masalahnya, SDM kurang, Tanah Negara berkurang, kurang kreatif dan kurang militansi (seperti Soekarno mengapresiasi hasil LR kurang lebih 3.000 M2 milik Marhaen, cikal-bakal idelologi Marhaenisme). Sekarang semangat itu redup. Jika boleh dikatakan hilang sebab pejabat di BPN bukan lagi asal karier, tetapi tamu luar dibawa ke dalam struktur inti. Maaf.
- Kebijakan pro poor vs kapitalisme, yang abu-abu. Regulasi mana yang bisa mengontrol pengendalian kepemilikan tanah baik jumlah maupun luasnya? Jika pun ada, regulasi yang kita miliki hanya absentee. Itu pun terbit semangat UUPA Tahun 60-an. Kiat-kiat masih berjalan terus sejak Orde baru (Orba) yang menekankan Modal. Concentreded bukan ke manusia/masyarakat ekonomi lemah/wong cilik (Bung Karno), tetapi mengarah ke pemilik modal. Akibatnya, di lapangan pertempuran kepentingan menonjol dan Pemerintah Daerah dengan sengaja berpihak pada pemilik Modal kuat. Lihat 5.000 Ha di eks PTPN II Sumatera Utara, pemilik asli semula terpinggirkan sejak pemberian HPL mula-mula saat Pemerintah Hindia Belanda. Pemilik tanah bahkan sudah dapat SK Redis jaman merdeka, tetapi tetap digilas saat nasionalisasi. Akhirnya PTPN penerima tanah menjadi hukum formal yang dibela oleh aparat Hukum. Wong cilik menjadi terpinggirkan walau sudah merdeka. Sekarang PTPN mau membangun kota baru (apakah tidak salah tupoksi, jika dibenarkan maka konflik pertanahan diselesaikan dengan cara yang salah, tak tahu sejarah tanah?). Tampaknya bagus, tetapi jauh dari Politik Land Reform, roh dari Reforma Agraria. Ini salah satu contoh saja. Contoh lain, pengendalian atas jumlah tanah maksimum yang formal ada Dirjennya (ditempati bukan orang BPN awalnya). Akhirnya tak memahami roh pengendalian tanah itu. Sisa penguasaan tanah jaman Orba, banyak melekat pada individu. Tanpa menyebut nama namun di lapangan itu catatan di BPN takkan berubah atau tidak dapat dihilangkan karena register pertanahan sudah terkunci.
- Status Tanah yang kabur atau dikaburkan. Masalahnya 30% landscape tanah di Indonesia, hanya itulah kewenangan BPN. Selebihnya Kementerian KLHK. Jika kita elaborasi awal penguasaan KLHK, sangat luas tanah kewenangan BPN diambil sepihak menjadi peta kehutanan. Statemen kualitas ini bisa ditelusuri. Contoh solusi tuntutan Togu Simorangkir yang jalan kaki, sepihak KLH membentuk tim penyelesaian masalah tumpang tindih. Diakui 25.000 Ha tanah adat (kewenangan ATR/BPN) dicaplok dengan cara-cara kebijakan sepihak, lebih dari penjajah menihilkan hak kepemilikan wong cilik. 10.000-an diberi konsesi ke TPL. Begitu rakyat menghadap Presiden, mereka buru-buru membuat seolah kebijakan, bahwa akan diserahkan kembali ke rakyat. Ini bisa digunakan pintu menyelesaikan tanah-tanah adat rakyat 76 tahun mereka merdeka, tetapi belum merdeka dalam penguasaan tanah mereka sendiri. Ini masalah serius, hemat saya. Memang bukan Tanah Negara yang bisa diredis, tetapi tanah rakyat sendiri Hak Milik diakui sejak Jaman Belanda dan UUPA pasal 3 tetap diakui, namun karena kewenangan berlebihan jaman Orba kepada Kementerian KLH membuat mereka lupa diri menjajah tanah rakyat bahkan menyerahkan konsesi ke swasta. Akhirnya konflik terjadi dan akan meluas di seluruh negeri. Bila ini mau diatasi, maka caranya KEMBALIKAN TANAH RAKYAT. Menteri KLH buat kebijakan menghapus dosa mereka, kepada Anak Negeri.
- Land use/pemanfaatan tanah belum sinkron. Tata Ruang sudah menjadi kewenangan daerah. ATR/BPN hanya pengendali Tataruang nasional. Masalahnya apakah sudah efektif penggunaan tanahnya. Reforma Agraria dalam Kepresnya, roh Reforma Agraria (Aset Reform dan Akses Reform) ditambah Perhutanan Rakyat bagi status Kawasan Hutan (padahal tanah rakyat sendiri juga, dikemas dengan istilah yang bagus didengar, sejatinya tanah rakyat juga). Kegiatan Reforma Agraria, secara terkoordinasi di lapangan dengan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat. Maaf karena istilah ini kadung diperosotkan selama dipandang tidak menarik di lapangan. Coba tanya Gubernur/Bupati/BPN itu sendiri. Apakah Pemberdayaan Masyarakat (PM) yang sesungguhnya sudah dipahami? Ingat PM berbasis Kelompok Masyarakat (vs Kapitalisme), bertumpu pada masyarakat ekonomi lemah, miskin namun jenis tanaman atau bangunan disesuaikan dengan tataruang setempat. Perijinan ke swasta, abai ke kepentingan masyarakat yang harus dibuat mandiri, empowering, dan bisa berproduksi. Jika lahannya luas, kita bisa arahkan kerjasama yang egaliter antara masyarakat adat dengan investor, dan berikan HGB di atas Hak Milik. Bentuk kerjasama yang saling mengisi dan tidak saling meninggalkan.
- Pendaftaran Tanah di Indonesia. Proses sertifikasi perlu didorong dan diregulasikan agar cepat namun mendapat kepastian hukum dan pada gilirannya sertifikat itu berkontribusi kedua hal Kepastian Hukum dan colateral bagi usaha masyarakat. Kelemahan Pensertifikatan Tanah Sistematis Lengkap (PTSL mengganti PRONA) adalah SDM pengukuran, pemberian Hak Atas Tanah, secara kuantitas kurang mengakibatkan diserahkan ke swasta. Pengendalian tertinggal akhirnya BPN memberi sertifikat kepada oknum yang bermain. Tampak sukses secara angka, tetapi kualitas jadi bom waktu. Solusi yang saya sodorkan adalah buat proyek mini dalam mata anggaran berjalan untuk menyeleksi subyek dan obyek tahun berikutnya. Seleksi ini berperanlah Direktorat Pengendalian, dalam tataran perencanaan. Jangan seperti sekarang, tanpa Hasil identifikasi H-1, langsung dijadikan sertifikat. Bapak Dewan akan melihat akibatnya di tahun pendek, menengah dan panjang. Terjadi antitesis, bukan kepastian hukum, tetapi menimbulkan masalah hukum baru.
- BPN sebagai lembaga pemersatu Bangsa dan Negara Indonesia. Maksudnya mulai dari penerimaan ASN, pengkaderan, penempatan posisi pejabat eselon 5,4,3,2 dan 1 bahkan Menteri, harus didasarkan pada kemampuan kinerja, seleksi obyektif jauhkan dari aspek SARA, kolusi dan nepotisme. Jadi tidak ada unsur sogok-menyogok secara tersembunyi, atau bentuk lainnya. Sebab, dalam teori, penatalayanan SDM ini faktor dominan dalam suksesi produktivitas yang ditata adalah manusia yang punya hati, motivasi, dan rasa serta kebanggaan hidup. Satu saja salah dan ketahuan melanggar akidah karier yang besih dan benar, akan merosotkan semangat kerja mereka.
N.B: Materi ini, diminta oleh Prof Dr. Hendrawan Supratikno, DPR RI, Komisi II.
Jakarta, Jumat, 3 September 2021.
Ronsen Pasaribu (Ketum FBBI)
Baca Juga:
Terobosan Pemberdayaan BPN RI
Seri 1: Kolom Ketum FBBI Menyapa dan Kantor FBBI
Mari Melakukan Kebaikan
Lumajang Memendam Gelora Soal Alam dan Manusianya
Lumajang dalam Memori
Seri 6: Perumpamaan Orang Batak: Jika Buntu di Hilir, Kembalilah ke Pangkalan
Pojok Memori: Kuliah Fakultas Hukum Sambil Kerja
Seri 2: Darurat Covid-19 dan Tawaran Topik Bahasan
Berbuat Baik kepada Orangtua
Seri 3: Konsultasi Bidang Pertanahan
FBBI Mengucapkan Selamat Hari Ibu
Pojok Memori: Masalah Menonjol Pertanahan di Lumajang