
Oleh: Drs Tumpal Siagian *)
OPINI
Melihat dinamika penanganan pandemi saat ini, ada satu urgensi untuk membenahi cara berkomunikasi pemerintah agar turut mengakselerasi pengendalian Covid-19 dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah publik dan formal, baik penuturan maupun penulisan, banyak yang memprihatinkan. Padahal, kesalahan nalar berbahasa dapat memberikan ambiguitas sehingga menimbulkan kerancuan tindakan di tingkat operasional. Akibatnya, penafsiran bisa fatal dan berkembang liar.
Meminjam istilah Sutan Takdir Alisjahbana, mengibaratkan komunikasi publik dalam posisi seperti, “kegirangan sahut-menyahut kicauan burung-burung di hutan”. Begitu merdu didengar, diperdebatkan, tapi tidak tahu maksudnya.
Intinya komunikasi publik perlu memperkuat narasi yang menggerakkan kesadaran dan perubahan perilaku warga, baik melalui media konvensional yang bersifat media arus utama (mainstream) maupun media sosial (medsos) sangat diperlukan
Media arus utama seperti, TV, Radio, dan koran pada dasarnya menyampaikan informasi faktual guna menyentuh aspek kognisi dan rasionalitas publik sangat efektif. Sebab, sebaran dan jangkauan media arus utama dapat menembus kendala keterbatasan ekonomi dan kendala geografis yang jumlahnya cukup besar tersebar di penjuru Tanah Air.
Substansi fakta sudah menjadi bagian kerja melekat (inherent) yang memberi tempat dalam profesi ini yaitu jurnalisme. Menjadi menarik karena Jurnalis adalah peliput berita yang mengasah rasionalitas dan keluhuran budi dengan keterampilan teknis profesional. Apresiasi patut diberikan kepada jurnalis menyangkut edukasi pelayanan masyarakat yang selalu menerapkan kode etik jurnalistik.
Adapun informasi yang menarik itu adalah yang dapat menyentuh aspek emosional (emotional touch), nilai moral etik . Sebab itu, media arus utama memegang peran penting menjadi “clearing house of information” (penjernih informasi) di tengah carut-marut pemberitaan Covid-19.
Sekarang media arus utama bukan lagi sumber informasi tunggal. Seiring perkembangan teknologi informasi berbanding lurus dengan munculnya medium-medium digital penyampai informasi yang baru. Mereka inipun bebas mempublikasikan karya tanpa tergantung pada penerbit, apalagi di era medsos yang tanpa batas.
Munculnya ekositem digital menyediakan jembatan yang mengenalkan anak zaman sekarang pada visual dan media sosial. Ternyata penggunaan internet di Indonesia begitu tingginya. Data Digital Report 2021 menyebut ada 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Rata-rata waktu yang digunakan untuk mengakses internet yaitu 8 jam 52 menit per-hari.
Sementara itu, pengguna aktif medsos di Indonesia mencapai 170 juta orang. Rata-rata penduduk menggunakan medsos selama 3 jam 14 menit setiap hari. Hal ini menunjukkan platform digital menjadi ruang literasi alternatif yang mampu mendongkrak kemapanan, meningkatkan kompetensi, dan kreativitas, sekaligus memberi sejumlah tantangan diantaranya plagiarisme dan kekacauan berbahasa.
Kekacauan berbahasa sudah terjadi ribuan tahun lalu di Babel. Kisah Alkitab menyebutkan, bagaimana umat manusia diserakkan Tuhan ke seluruh bumi, menjelma menjadi beragam bangsa yang berbicara berbagai bahasa. (Kejadian 11:1-9).
Sebenarnya bukan hanya Alkitab yang punya cerita tentang bahasa. Kita pun bangsa Indonesia punya rekam jejak peradaban yang menemukan serpihan “ilmiah” tentang bahasa Melayu menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.
Kala itu, kepulauan Nusantara terkenal akan keragaman bahasa derah. Keragaman yang ekstrem itu membuat penduduk Nusantara tidak mungkin menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Menjadi menarik karena bahasa yang dipergunakan di daerah pelabuhan oleh para pekerja pelabuhan, pedagang bahari untuk berkomunikasi adalah bahasa Melayu. Mereka berbahasa Melayu dengan kata-kata yang terbatas dan tanpa aturan bahasa yang baku, hanya sebatas mengerti untuk urusan dagang dan aktivitas di pelabuhan-pelabuhan.
Para pekerja dan pedagang pelabuhan itu lalu pulang ke daerah asal, membawa pengetahuan tetang Bahasa Melayu. Bahasa ini kemudian menjadi bahasa pemersatu yang diikrarkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Seiring perkembangan zaman, perbendaharaan bahasa Indonesia tak luput dari pengaruh bahasa Inggris yang menjadi bahasa dunia, dalam penyerapan kata yang pada gilirannya susunannya juga turut memengaruhi pengucapan dan penulisan kata. Itulah sebabnya kita harus punya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Mengelola Kepercayaan Publik
Saat gelombang pandemi Covid-19 menerjang Ibu Pertiwi dan merenggut nyawa ratusan ribu warga, dalam konteks ini birokrasi Pemerintah dituntut untuk mengoptimalisasi komunikasi guna mengelola kepercayaan publik. Kepercayaan berbahasa inilah yang menjadi modal sosial dan teramat diperlukan dalam penanganan pandemi.
Walakin, Ppemerintah meluncurkan pesan dan akronim baru seperti mewajibkan karyawan kerja di rumah, (Work From Home/WFH), jasa pendidikan sekarang lebih banyak dilakukan melalui sarana video call atau zoom, yang menjadikan bahasa Inggris sangat kuat dalam penyerapan kata.
Pada akhirnya, penyampaian pesan dalam komunikasi birokrasi Pemerintah yang ingin disampaikan kepada masyarakat sering bias dan acap kali simpang siur. Sulitnya membangun pemahaman berbahasa yang campur-sari ini berkelindan dengan penyampaian pesan dengan memproduksi berbagai akronim. Akronim terbaru yang diperkenalkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) ber-Level 1- 4.
Level 1, pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Level 2, PPKM Mikro menggantikan PSBB. Level 3, PPKM Darurat menggantikan PPKM Mikro, dan Level 4, PPKM Level 4 menggantikan PPKM Darurat.
Ada juga akronim 3 M, kemudian menjadi 6 M, menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari keramaian, membatasi mobilitas, dan menghindari makan bersama. Dari hari ke hari bertambah akronim baru berbahasa Inggris 3 T testing, tracing, dan treatment (test, telusur/lacak, dan perawatan: isolasi/vaksinasi).
Akronim lainnya, dalam pengolahan sampah berbasis 3R, reduce, reuse, recycle (pengurangan, penggunaan ulang, dan pendaurulangan). Demikian juga ajakan demo bertajuk “Jokowi End Game” yang batal digelar di Jakarta semakin mempersulit memahami kebahasaan kita.
Histeria masyarakat diperburuk oleh mereka yang oposisi kepada Pemerintah mempertontonkan arogansi “ngomong” sesukanya, melanggar segala aturan dan memproduksi hoaks serta banjir informasi yang menyesatkan. Piawai bernarasi dan berorasi, teriak-teriak tanpa ikut membantu turun ke lapangan. Apalagi kita tahu negeri ini selalu berada di kelompok atas dalam hal keterbelakangan dan di urutan bawah dalam literasi (membaca, menulis, menyimak, dan berbicara).
Membenahi Komunikasi Pandemi
Mengingat informasi Pemerintah tentang pemberlakuan PPKM level 4 dianggap penting dan menyadari berbelitnya komunikasi yang ada di negeri ini, Presiden Jokowi langsung tampil ke publik, “Jangan sampai masyarakat frustrasi gara-gara kesalahan kita dalam komunikasi, kesalahan kita dalam menjalankan policy”, ucap Presiden Jokowi, 17 Juli 2021 yang lalu.
Menyikapi situasi dan belum kunjung usainya pandemi telah membuat orang di seluruh lapisan masyarakat stress, takut, marah, lelah, dan perasaan negatif lainnya, birokrasi Pemerintah yang justru memiliki otoritas untuk menenangkan masyarakat harus tampil membenahi komunikasi pandemi dengan baik dan benar.
Saat ini, birokrasi Pemerintah perlu mendorong dan memperbarui komunikasi yang andal, kredibel, menguasai data/ fakta, dan permasalahan. Mengingatkan adanya kegentingan tapi juga menawarkan harapan dan menegaskan bahwa Negara selalu hadir. Informasi kredibel Pemerintah itu penting menanggapi terjadinya ledakan informasi (information explotation) yang bisa mengakibatkan kecemasan (information anxiety) di masyarakat.
Peter Drucker, seorang bapak manajemen dalam “The New Realistic” (1989) mengatakan, birokrasi Pemerintah perlu ada selamanya sebagai media pelayanan publik. Pemerintah memiliki dasar yang kuat untuk menetapkan kebijakan, bahkan birokrasi Pemerintah merupakan model pembuat kebijakan (policy making) tidak terbantahkan. Dengan adanya birokrasi segala informasi tersajikan akurat dan objektivitas sepenuhnya dapat dipercaya.
Dengan merebaknya apa yang disebut, “disonansi kognitif”, yakni ketika nalar tidak berfungsi mencerahkan, peran pemuka agama sangat teramat dibutuhkan. “Disonansi kognitif” terjadi akibat keterbelahan publik dalam mempersepsi pandemi antara nalar sains di satu sisi, dan nalar agama di sisi lain. Keduanya seolah tak memiliki hubungan sama sekali dengan memunculkan pernyataan menyesatkan, “tidak boleh takut melawan virus, tetapi takutlah kepada Allah. Urusan mati bukanlah karena virus, melainkan takdir Allah” dikesankan sains nalar dan agama seolah bertabrakan secara diametral.
Juru bicara Pemerintah harus berada di garda terdepan membenahi komunikasi, membangun nalar, memilih dan memilah informasi, memandu masyarakat berpikir jernih untuk mengampanyekan “herd immunity” (kekebalan kelompok) 70-80 % penduduk di vaksin untuk menghadapi varian delta yang punya kemampuan menular sangat tinggi.
Cara mengomunikasikannya harus berdasarkan analisis data dan fakta yang ada, dan harus dilakukan dari pusat sampai ke daerah secara menyeluruh, karena semua masyarakat berhak mendapatkan informasi yang sahih/ valid. Kendala vaksinasi ialah akses, hingga berita bohong membuat ketakutan warga sehingga tidak mau divaksin. Berbagai persoalan ini mendesak diselesaikan.
Pemerintah tidak bisa hanya menyajikan data-data statistik, mengandalkan akronim, atau singkatan yang membingungkan (Jakarta, 23 Agustus 2021).
* Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny S