OPINI
Perang Rusia-Ukraina semakin eskalatif menyusul langkah Rusia mengklaim empat provinsi di Ukraina Timur sebagai wilayahnya pada akhir September lalu. Gangguan rantai pasok global yang berlangsung sejak pecah Perang Rusia-Ukraina 24 Februari 2022 kini makin intens. Akibatnya, harga energi dan pangan diperkirakan akan kembali meroket. Ujung-ujungnya inflasi cenderung terbang tinggi.
Dengan demikian, resesi global diprediksi terjadi pada 2023, khususnya di Eropa dan negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Rusia dan Ukraina. Indonesia diperkirakan tidak jatuh pada resesi melainkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Namun, jika perang terus bereskalasi, bayang-bayang inflasi dan resesi tetap dirasakan mewarnai pemulihan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, terutama untuk menjaga inflasi dan menstabilkan perekonomian. Di lain pihak, Indonesia mempunyai daya lenting (resilience) perekonomian Nasional dari sisi swasembada beras, perdagangan, logistik dan rantai pasok domestik dalam menghadapi kenaikan harga energi dan pangan global.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini kita bersyukur Indonesia menerima penghargaan dari Institut Riset Padi Internasional (IRRI) atas berhasilnya Swasembada beras periode 2019-2021. IRRI merupakan lembaga riset Internasional di bidang padi. Penghargaan ini dinilai sebagai capaian positif atas meningkatnya produksi beras selama tiga tahun terakhir (2019-2021) berturut-turut di angka 31,11 juta ton, 31,36 juta ton, dan 31,32 juta ton. Dengan surplus ini, Indonesia berpeluang untuk melakukan ekspor guna mengisi pasar dunia. Setidaknya, untuk lima tahun ke depan untuk komoditas beras Indonesia akan dapat memenuhi konsumsi dalam negeri karena pangan terutama gandum bergejolak akibat Perang Rusia-Ukraina terus bereskalasi.
Swasembada beras menggambarkan kemandirian rakyat dalam ketahanan pangan. Sukacita atas penghargaan ini merupakan suar di tengah gelapnya perang Rusia-Ukraina yang berdampak langsung pada rantai pasok global dan memicu resesi global. Meski tidak bisa lepas dari resiko kenaikan harga energi dan pangan, Indonesia harus berhati-hati menentukan kebijakan karena adanya problem perubahan iklim yang bisa menghancurkan.
Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim tantangan nyata secara global. Dampak perubahan iklim sangat luas dan multi sektor. Upaya diversifikasi pangan akibat dampak perubahan iklim dapat dimitigasi oleh riset dan pengembangan teknologi menjadi strategi. Karena itu, kolaborasi antara peneliti dan koordinasi riset bisa membawa “wind of change” (angin perubahan) ke arah pertanian pengembangan varietas yang tahan terhadap cuaca yang basah dan kering seperti sukun, sagu, dan pisang sekaligus dapat meredam tingginya tekanan inflasi global. Program pemulihan ekonomi dengan mendorong penggunaan produk dalam negeri dan substitusi impor perlu terus dioptimalkan. Begitu pula diversifikasi pangan menjadi pilihan tepat untuk memenuhi kebutuhan pangan sekaligus bisa menjadi sumber penghasilan baru dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ekonomi masyarakat.
Perlu diingat bahwa penghargaan Swasembada beras yang diberikan IRRI ke Indonesia hanya selama kurun waktu tiga tahun, 2019-2021 sehingga apa yang terjadi sesudahnya memerlukan kepedulian semua pihak untuk mendorong perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan.
Sementara dimensi lain, adanya lingkaran setan (vicious circle) dari mulai isu konversi, degradasi, dan fragmentasi lahan pertanian, ketergantungan pada impor komoditas, regenerasi tenaga kerja pertanian hingga kesejahteraan petani, merupakan agenda pelik sektor pertanian kita. Artinya, pertanian adalah sebuah agenda besar yang memerlukan kepedulian semua pihak yang melibatkan pelaku usaha dari sejak hulu, budidaya, hingga hilir pengolahan dan pemasaran, untuk memberi makan 270 juta jiwa penduduk negeri ini.
Di tengah suasana ketidakpastian ini, seluruh dunia diajak melakukan aksi nyata untuk memitigasi krisis iklim, serta pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam hal ini, Indonesia bertekad untuk menjadi bagian dari solusi akan kembali menekankan bahwa syarat mutlak untuk mengatasi berbagai persoalan global yang mendera dunia ialah multilateralisme atau kerjasama.
Indonesia pada tahun 2023, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen. Sinergi kebijakan fiskal-moneter menjadi kunci yang membentengi ekonomi Indonesia dari ancaman resiko ekonomi global. Pemerintah menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri dengan memberikan subsidi. Langkah ini membuat inflasi tetap terkendali dan tidak melonjak tinggi seperti terjadi di banyak negara.
Langkah otoritas memberikan subsidi BBM merupakan dukungan kepada otoritas moneter dalam pengendalian inflasi. Namun, otoritas moneter juga memberikan dukungan dengan menyerap surat utang negara sehingga Pemerintah memiliki dana untuk memberikan subsidi BBM. Itulah bentuk sinergi dan berbagi beban antara fiskal dan moneter.
Di sisi lain, Pemerintah memiliki Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) yang diharapkan dapat menjaga pasokan dan harga pangan. Stok beras Pemerintah ditargetkan setidaknya 1, 2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan Nasional. Sementara yang dikuasai Pemerintah di Perum Bulog, yang juga operator NFA sekitar 780.000 ton, dan menyalurkan sekitar 200.000 ton per-bulan. Karena itu, kerja sama antar daerah perlu diperkuat untuk penyerapan hasil panen gabah/beras untuk cadangan Pemerintah untuk stabilisasi.
Perlu ditindaklanjuti penggunaan dan pemanfaaan inovasi teknologi untuk menghasilkan padi berkualitas dan pemasaran komoditas pangan yang dihasilkan. Dibarengi dengan adanya penurunan konsumsi beras secara signifikan karena menyubstitusi beras dengan umbi-umbian, kacang-kacangan, sorgum, dan sagu serta sayur dan buah. Penganekaragaman pangan perlu lebih diperhatikan, semua ini demi swasembada hingga menaikkan surplus beras Nasional dan menjaga harga dalam negeri sampai bisa ekspor pangan ke luar negeri.
Inflasi dan Pemulihan Ekonomi
Dalam situasi ekonomi dunia penuh ketidakpastian, Indonesia pun dibayang-bayangi “perfect storm” dalam pemulihan ekonomi. Tingginya harga energi dan pangan, serta imbasnya terhadap biaya produksi dan harga produk industri manufaktur telah menggerus daya beli masyarakat. Kita mengalami guncangan energi dan pangan serta mengalami guncangan perubahan iklim menghantam setiap negara pada saat bersamaan. Karena itu, pengendalian harga energi dan pangan menjadi salah satu kunci untuk menahan laju inflasi serta mengejar pertumbuhan ekonomi.
Inflasi menghantui dunia. Inflasi tahunan pada September 2022 tercatat di Amerika Serikat (AS) berada diatas 8 persen, di negara-negara Eropa secara rata-rata angkanya menyentuh 10 persen, menjadi tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Sementara hantu inflasi yang mengintai Indonesia berada sebesar 5,9 persen, tertinggi sejak 2014. Indonesia boleh bangga dengan prospeknya yang memang lebih cerah dalam swasembada beras. Namun, pemantauan gerak-gerik pasar dan spekulan juga penting dilakukan.
Jika pasar didefenisikan sebagai titik pertemuan permintaan dan penawaran, secara hipotesis penyebab naiknya harga barang adalah kenaikan permintaan atau turunnya penawaran (pasokan). Inflasi terjadi karena gangguan di sisi permintaan dan penawaran. Hasrat belanja masyarakat menggebu, sedangkan pasokan barang terbatas. Akibatnya, harga-harga barang naik (demand pull-inflation).
Kondisi geopolitik, tersendatnya pasokan energi dari Rusia ke Eropa memicu kenaikan harga minyak dunia dan menjadi pemicu inflasi. Di Indonesia, kenaikan harga energi (BBM) serta depresiasi rupiah terhadap dollar AS menjadi penyebab inflasi (cost push- inflation).
Selain itu, agar neraca perdagangan tidak tergerus semakin dalam, setiap negara menjaga sabuk-sabuk pengaman ekspor karena ekspor merupakan salah satu pundi-pundi devisa negara. Indonesia berpotensi menjadi pemain utama rumput laut dunia jika didukung kebijakan yang terintegrasi di hulu hingga hilir.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2021, ekspor rumput laut Indonesia mencapai 225.000 ton atau 30 persen dari total volume ekspor rumput laut dunia. Jumlah ekspor itu menempatkan Indonesia sebagai pengekspor rumput laut terbesar.
Namun, dari sisi nilai ekspor Indonesia menempati urutan kedua setelah China, dengan nilai ekspor 345 juta dollar AS atau setara dengan Rp 5 triliun ( kurs Rp 14.500 per-dollar AS). Saat ini tercatat 196 negara di dunia menjadi pengimpor komoditas rumput laut. Produk turunan rumput laut ini berupa produk pangan, kosmestik, dan farmasi bisa diolah menjadi produk bernilai tambah yang memiliki ekonomi tinggi. Ini menunjukkan betapa pentingnya rumput laut dalam perdagangan Internasional.
Sementara pada era situasi global yang kecenderungannya proteksionisme, kemandirian bukan lagi pilihan, melainkan harga mati. Produksi diupayakan cukup, memperkuat stok domestik memaksa kita bersiasat menghadirkan kedaulatan pangan. Regulasi yang mendukung itu dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi kawasan, termasuk bagi Indonesia sendiri.
Tuntutan akan produk-produk yang ramah lingkungan, ekonomi hijau dalam memenuhi tuntutan pasar harus direspons Pemerintah untuk segera bertransisi dengan dukungan nyata dan membumi. Tanpa dukungan nyata Pemerintah, proses transisi hanya akan merupakan sebuah wacana belaka. Ditengah tekanan eksternal dan internal yang muncul, persepsi psikologis masyarakat dan pengusaha terhadap kondisi ekonomi dan bisnis semakin positif. Optimisme yang tinggi itu sejalan dengan langkah-langkah perbaikan dan kemudahan usaha dalam negeri semakin memperkuat daya lenting perekonomian Nasional.
Kita harus menggabungkan kapital Nasional diantaranya swasembada beras, optimisme yang memunculkan geliat masyarakat berusaha dan ekonomi hijau, serta mengajak semua pihak untuk terlibat, kolaboratif, bergotong royong dalam menghadapi ketidakpastian ini. Mengambil langkah yang tepat dan strategis demi kesejahteraan bersama, tidak meminggirkan ekonomi hijau, dan tanpa harus melesukan ekonomi rakyat.(Jakarta, 16 Oktober 2023).
*) Penulis adalah alumni FEB UKI/ Dosen Honorer FEB UKI (Penulis buku “Keceriaan Masa Pensiun”)
Editor: Danny PHS