BatakIndonesia.com — Akhir-akhir ini mengemuka diskusi tentang tanah adat di wilayah Kawasan Danau Toba (KDT). Ini bukan karena tidak jelasnya konsepsi tanah adat. Namun demikian, begitu nilainya tambah mahal dan potensi dollar ada di kawasan ini maka muncul masalah yang bermuara pada pemanfaatan tanah adat itu. FBBI memandang perlu isu ini dalam artikel ini.
Ada baiknya bila kita ulas dahulu tanah adat. Secara umum tentang tanah adat atau tanah milik adat. Dr B. F. Sihombing dalam desertasi berjudul: Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, bagian Sumber Hukum Tanah Indonesia, mengatakan: “Sumber Hukum Tanah, yaitu: status tanah dan riwayat tanah. Itulah sebagai kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah pada masa lampau, kini, dan mendatang. Dokumennya SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah) untuk tanah bekas Hak Barat, sedangkan riwayat PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atau Surat Keterangannya dari Kepala Desa/Kelurahan setempat.
Sistem Hukum Adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyat. Hukum ini berlatar perekonomian subsistensi serta kebijakan paternalistik, berdasarkan kebijakan paternalistik, pertalian kekeluargaan. Sistem tradisional dari kepemilikan tanah mungkin tidak cocok dengan penggunaan tanah secara efisien, menghalangi investasi asing. Bahkan hukum tanah adat tidak dipersiapkan untuk menyeimbangkan terhadap hak-hak pribadi dengan hak masyarakat dalam kasus intervensi ekonomi yang terencana (hal 67).
Konteks Indonesia, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat di mana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari hukum adat setempat. Hukum adat tersebut sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan sosialisme Indonesia.
Hukum Tanah Adat terdiri dari 2 (dua), antara lain:
Pertama, Hukum Tanah Adat masa lampau, yaitu: hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang serta pada jaman Indonesia Merdeka tahun 1945 tanpa bukti kepemilikan secara otentik atau tertulis. Jadi hanya pengakuan. Ciri-cirinya individu atau sekelompok masyarakat memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai daerah, suku dan budaya hukumnya. Kemudian secara turun-temurun masih berada di lokasi tersebut dan mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah adat, dan bahasa daerah.
Kedua, Hukum Tanah Adat masa kini. Tanah yang dimiliki dan dikuasai tanah pada zaman merdeka tahun 1945 sampai sekarang dengan bukti-bukti otentik seperti girik, petuk pajak, pipil, pesini, grant sultan, Surat Pajak Hasil Bumi (verponding Indonesia) dan hak lainnya sesuai daerah masing-masing. Selain hak-hak tersebut, masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan, antara lain: Hak Atas Tanah di Batak, yaitu: Hak Atas Huta, tanah Kasain, dan Marimba (Hilman Hadikusuma, dalam disertasi B.F. Sihombing, halaman 70). Catatan kaki menuliskan sebagai berikut: Hak Atas Tanah di Batak, yaitu: Hak Atas Huta, tidak dapat diganggu gugat oleh penduduk karena yang berhak atas kampung itu penduduk secara bersama-sama. PN (Pengadilan Negeri) tidak berhak memutuskan hak atas huta karena wewenang persekutuan huta tersebut. Tanah Kasain di Karo dan Tanah Kasain di Tapanuli Selatan.
Selanjutnya, bagaimana hukum positif yang diberlakukan di Kawasan Danau Toba? Berdasarkan pengamatan penulis, yang pernah berdinas di bidang Pertanahan (Kepala Kantor Kota Medan, Tahun 2006-2009), menjelaskan sebagai berikut:
Sistem Hukum Adat sudah berlangsung sejak sebelum merdeka (lama) dan berlanjut pada jaman pasca kemerdekaan. Hak Atas Huta berlaku. Kemudian hak atas tanah bersifat individual yang didistribusikan kepada masyarakat dengan terlebih dahulu diberikan kesempatan kepada keluarga pamukka huta. Sedangkan pendatang dan atau keluarga yang memperistrikan perempuan di desa itu dijamin usaha melalui tanah rumah dan sawah, dengan hak pakai. Hak individual inilah yang berlangsung terus, sampai sekarang berkarakter tradisional. Buktinya hanya pengakuan, baik tanah perladangan, penggembalaan, sawah, dan di tempat tertentu ada tanah penguasaan Desa.
Pengadministrasian Tanah Milik Adat berbeda beda di seluruh wilayah negeri. Ada yang menatausahakan dalam rangkap penetapan pajak. Sistem pendaftaran mengikuti pola Land Register sementara fungsinya adalah penarikan pajak tanah baik tanah milik sendiri maupun tanah usaha (jaman Belanda) yang diteruskan masa kemerdekaan RI. Itulah yang kita kenal Tanah Yasan, Girik, dan Pipil. Sedangkan di Sumatera, ini tidak diregister namun dikeluarkan PBB dan surat keterangan Desa yang isinya menyatakan tanah seluas sekian, berbatasan dengan utara, timur, selatan dan barat adalah milik si subyek hak. Ini digunakan untuk kepentingan hukum dan pembayaran PBB atau atas hak untuk sertifikasi di Kantor Pertanahan.
Yang menarik tanah individual pada mula-mula, namun seiring berjalannya waktu, seorang individual beranak marboru dengan jumlah yang banyak lalu merantau ke tempat jauh dengan meninggalkan sebagian kecil di desa asal. Penamaan hutan atau lahan itu disebut Tanah Ompu sesuai nama dan marganya. Jika kita lihat ulasan teori, maka ini masuk status Tanah Milik Adat. Hanya penggunaan narasi Hak Ulayat atau Komunal atau Tanah “sa-Ompung”, ketiga istilah itu sama-sama menggunakan kesamaan darah sebagai penanda persatuan kepemilikan tanahnya.
Saya kutip saja di Medsos akhir-akhir ini tanah milik adat yang bermasalah dengan TPL dan atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor SK 532/Men LHK/Sekjen/Kum.1/6/2021 tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan Hutan adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkunan Danau Toba. Judulnya adalah Daftar Usulan Hutan Adat di Lingkungan Danau Toba untuk penyelesaian wilayah adat sebagai berikut:
1. Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, Simalungun, 851 Ha
2. Ompu Manontang Laut Ambarita,Sihaporas, Simalungun,2050 ha.
3. Huta Aek Godang tornauli, Tapanuli Utara. 1.350 Ha
4. Huta Bonan Dolok, Tapanuli Utara.588 Ha
5. Huta Napa (Ompu Runggur Simanjuntak dan Op Bulus Simanjuntak), Tapanuli Utara. 2.438 Ha
6. Hut Tornauli, Tapanuli Utara. 1.050 Ha
7. Ompuraja Naga Padoha Manalu, Rumah Ijuk Huta Lobu Unut, Tapanuli Utara, 1.036 Ha
8. Raja Parjalang Mirasomanggalang Tampubolon, Huta Sitonong,Taput. 318 Ha
9. Huta Matio, Toba. 1.418 Ha
10. Huta Sigalapang, Toba. 941 Ha
11. Huta Simenak-Henak, Toba. 476 Ha
12. Ompu Ponggok Simanjuntak, Ombor, Toba. 47 Ha
13. Ompu Raja Panduraham Simanjuntak Natumingka,Toba.2.410 Ha
14. Pargamanan-Bintang Maria, Humbang Hasundutan. 1.767.
15. Sitakkubak Aek Lung, Humbang Hasundutan.149 Ha
16. Tombak Haminjon, Humbang Hasundutan. 5.087 Ha.
17. Golat Simbolon, Samosir. 1.007 Ha.
18. Nagahulambu, Simalungun. 138 Ha
19. Bius Bunturaja, Tapanuli Utara. 378 Ha
20. Hutaginjang, Tapanuli Utara. 805 Ha
21. Nagasaribu Siharbangan, Tapanuli Utara. 508 Has
22. Sigapiton, Toba.915 Ha
Jumlah luas seluruhnya 25.727 m2, masuk konsesi TPL 10.384 Ha dan di luar TPL masuk Kawasan Hutan 15.342 Ha.
Membaca data di atas, ini menunjukkan adanya konflik selama ini di mana lahan tanah adat masyarakat, baik tanah Ompu maupun Tanah Huta, tumpang tindih dengan peta kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Konflik ini dipicu akhir-akhir ini dengan kasus TPL di Desa Natumingka. Tahap ini, jika benar benar di-inclove dan levering kepada subyek hak sebagai pemiliknya maka satu langkah solusi tercapai, tanpa ada kewajiban masyarakat. Ini langkah penyelesaian kasus, dikecualikan dari cara-cara selama ini, yaitu: dengan penataan tata batas, pelepasan dengan ganti-rugi dan putusan pengadilan baik MK maupun MA, yang selama ini belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Kembali pada pokok tulisan sebagai penutup, sepanjang tanah adat yang teridentifikasi sudah individual, terbagi hak warisnya, maka prosedur koversi tanah adat dapat disertifikatkan melalui lembaga konversi langsung, atau pengakuan hak atau penegasan hak. Bilamana itu sudah bersertifikat maka ciri tradisional atas tanah adat sudah bertransformasi kepada konsep modernisasi. Ini bisa dijadikan colateral bagi usaha atau investor dengan bekerjasama pemanfaatan selama 50 tahun dengan diberikan HGB di atas Hak Milik, sehingga berbagi hasil bisa dimanfaatkan pemilik tanah dan investor. Jika ini terlaksana maka majulah Tano Batak dan pembangunan akan memiliki kepastian dan kesinambungan.
Penulis: Dr. Ronsen Pasaribu, SH, MM (pengamat, pemerhati, dan praktisi hukum masalah pertanahan dan agraria)